Responsive Ad

Kesultanan Kotawaringin

Kerajaan Kepangeranan Kotawaringin adalah sebuah kerajaan kepangeranan yang merupakan cabang keturunan Kesultanan Banjar dengan wilayah intinya sekarang yang menjadi Kabupaten Kotawaringin Barat di Kalimantan Tengah yang menurut catatan istana al-Nursari (terletak di Kotawaringin Lama) didirikan pada tahun 1615 atau 1530, dan Belanda pertama kali melakukan kontrak dengan Kotawaringin pada 1637, tahun ini dianggap pertama kalinya Kotawaringin diperintah seorang Raja sesuai dengan Hikayat Banjar dan Kotawaringin (Hikayat Banjar versi I) yang bagian terakhirnya saja ditulis tahun 1663 dan di antara isinya tentang berdirinya Kerajaan Kotawaringin pada masa Sultan Mustain Billah. Pada mulanya Kotawaringin merupakan keadipatian yang dipimpin oleh Dipati Ngganding. Menurut perjanjian VOC-Belanda dengan Kesultanan Banjar, negeri Kotawaringin merupakan salah satu negara dependensi (negara bagian) di dalam "negara Banjar Raya".

Istana Al Nusari, Istana pertama Kesultanan Kotawaringin
http://aditya-pbun.blogspot.co.id

Kotawaringin merupakan nama yang disebutkan dalam Hikayat Banjar dan Kakawin Negarakretagama, seringpula disebut Kuta-Ringin, karena dalam bahasa Jawa, ringin berarti beringin.

Negeri Kotawaringin disebutkan sebagai salah daerah di negara bagian Tanjung Nagara (Kalimantan-Filipina) yang tunduk kepada Majapahit. Menurut suku Dayak yang tinggal di hulu sungai Lamandau, mereka merupakan keturunan Patih Sebatang yang berasal dari Pagaruyung (Minangkabau).

Sejak diperintah Dinasti Banjarmasin, Kotawaringin secara langsung menjadi bagian dari Kesultanan Banjar, sehingga sultan-sultan Kotawaringin selalu memakai gelar Pangeran jika mereka berada di Banjar. Tetapi di dalam lingkungan Kotawaringin sendiri, para Pangeran (Pangeran Ratu) yang menjadi raja juga disebut dengan "Sultan" karena kedudukannya sejajar dengan Sultan Muda/Pangeran Mahkota di Kesultanan Banjar.

Kerajaan Kotawaringin merupakan pecahan kesultanan Banjar pada masa Sultan Banjar IV Mustainbillah yang diberikan kepada puteranya Pangeran Dipati Anta-Kasuma. Sebelumnya Kotawaringin merupakan sebuah kadipaten, yang semula ditugaskan oleh Sultan Mustainbillah sebagai kepala pemerintahan di Kotawaringin adalah Dipati Ngganding (1615). Oleh Dipati Ngganding kemudian diserahkan kepada menantunya Pangeran Dipati Anta-Kasuma. Menurut Hikayat Banjar, wilayah Kotawaringin adalah semua desa-desa di sebelah barat Banjar hingga sungai Jelai. Wilayah Kerajaan Kotawaringin paling barat adalah Tanjung Sambar (Kabupaten Ketapang), batas utara adalah Gunung Sarang Pruya (kabupaten Melawi) dan di timur sampai sungai Mendawai (Tanjung Malatayur) yaitu bagian barat Provinsi Kalimantan Tengah, sedangkan bagian timur Kalimantan Tengah yang dikenal sebagai daerah Biaju (Tanah Dayak) serta daerah pedalaman yang takluk kepadanya tetap di bawah otoritas kepala suku Dayak. Kotawaringin sempat menjajah negeri Matan dan Lawai atau Pinoh dan menuntut daerah Jelai sebagai wilayahnya. Daerah aliran sungai Pinoh (Kabupaten Melawi) merupakan termasuk wilayah Kerajaan Kotawaringin. Daerah aliran Sungai Jelai, di Kotawaringin di bawah kekuasaan Banjarmasin, sedangkan sungai Kendawangan di bawah kekuasaan Sukadana.

Image result for kesultanan kotawaringin
Istana Kuning, Istana kedua Kesultanan Kotawaringin
https://id.wikipedia.org

Sejarah


Menurut Kakawin Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365 menyebutkan Kota Waringin salah satu negeri di negara bagian Tanjung Nagara (Kalimantan-Filipina) yang berpangkalan/beribukota di Tanjungpura, wilayah yang telah ditaklukan oleh Gajah Mada dari Kerajaan Majapahit.

Panembahan Kalahirang dari Kerajaan Sukadana(Tanjungpura) melakukan ekspansi perluasan wilayah kekuasaan yang terbentang dari Tanjung Datok (Sambas) sampai Tanjung Puting (Kotawaringin), tetapi kemudian menurut Hikayat Banjar, negeri Kotawaringin bahkan Sukadana sendiri menjadi taklukan Maharaja Suryanata penguasa daerah Banjar kuno (Negara Dipa).

Menurut Hikayat Banjar yang bab terakhirnya ditulis pada tahun 1663, sejak masa kekuasaan Maharaja Suryanata/Raden Aria Gegombak Janggala Rajasa/Raden Suryacipta, seorang pangeran dari Majapahit yang menjadi raja Negara Dipa (Banjar kuno) yang ke-2 pada masa Hindu, orang besar (penguasa) Kota Waringin sudah menjadi taklukannya, di sini hanya disebutkan orang besar, jadi bukan disebut raja seperti sebutan penguasa negeri lainnya pada masa yang bersamaan. Kota Waringin dalam Hikayat Banjar disebutkan sebagai salah satu tanah yang di bawah angin (negeri di sebelah barat) yang telah ditaklukan.

Sebelum berdirinya Kerajaan Kotawaringin, Raja-raja Banjar sebagai penguasa sepanjang pantai selatan dan timur pulau Kalimantan telah mengirim menteri-menteri atau ketua-ketua untuk mengutip upeti yang dipaksa kepada penduduk Kotawaringin. Nenek moyang suku Dayak yang tinggal di hulu-hulu sungai Arut telah memberi kepada Sultan Banjarmasin debu emas sebanyak yang diperlukan untuk membuat sebuah kursi emas. Selepas itu dua orang menteri dari Banjarmasin bernama Majan Laut dan Tongara Mandi telah datang dari Tabanio (Laut Darat/Tanah Laut) ke Kumai dan tinggal di situ. Kedua bersaudara inilah yang mula-mula membawa Islam ke wilayah Kotawaringin. Majan Laut kemudian terlibat perseteruan dengan saudaranya dan selanjutnya ia pindah dari Kumai ke Belitung dan tinggal di sana. Tongara Mandi kemudian pindah dari Kumai ke daerah kuala Kotawaringin di mana dia sebagai pendiri Kotawaringin Lama di pinggir sungai Lamandau. Dia kemudian meninggalkan tempat ini karena diganggu oleh lanun/perompak dan membuka sebuah kampung baru, lebih jauh ke hulu, di sungai Basarah, salah satu anak sungai di sebelah kiri. Dalam Hikayat Banjar tokoh yang mendapat perintah dari Marhum Panembahan [sultan Banjar IV yang berkuasa 1595-1638] untuk menjabat adipati Kotawaring bernama Dipati Ngganding dari golongan Andin dan juga sebagai mertua dari Pangeran Dipati Anta-Kasuma karena menikahi Andin Juluk, puteri dari Dipati Ngganding. Sebelumnya Pangeran Dipati Anta-Kasuma juga menikahi Nyai Tapu puteri dari seorang Mantri Sakai/Kepala Daerah Kahayan. Pada masa sebelumnya Sultan Mustainbillah telah menikahkan Dipati Ngganding dengan Aji Ratna puteri Aji Tunggul (adipati Pasir). Pasangan ini memperoleh dua puteri yaitu Andin Juluk dan Andin Hayu.

Lebih kurang 15 tahun kemudian, Kiai Gede putera dari Majan Laut datang dari Belitung dan tinggal dengan pamannya, Tongara Mandi. Kiai Gede membujuk pamannya untuk mengkaji keadaan negeri tersebut dan memilih suatu tempat yang lebih sesuai sebagai ibukota. Untuk tujuan ini mereka mula-berjalan menghulu sungai Arut dan tempat tinggal mereka saat itu dekat Pandau. Kemudian mereka membuat perjalanan menghulu sungai Lamandau, hingga ke anak sungai Bulik. Kemudian mereka bermimpi bahwa mereka mestilah menetapkan lokasi yang terpilih pada tempat di mana perahu mereka melanggar sebuah batang pohon pisang, kemudian mereka juga berlayar menuju hilir. Sesuai mimpi tersebut mereka menemukan suatu lokasi yang tepat yang kemudian menjadi lokasi di mana terletak Kotawaringin tersebut. Tetapi lokasi tersebut sudah terdapat suatu kampung Dayak yang besar yang disebut Pangkalan Batu. Penduduk kampung tersebut enggan membenarkan para pendatang ini tinggal di sana. Oleh sebab itu mereka menghalau orang Dayak dari situ dan merampas dari mereka beberapa pucuk cantau (senapang) Cina dan dua buah belanga (tempayan Cina). 

Orang Dayak yang kalah tersebut berpindah ke arah barat yaitu tasik Balida di sungai Jelai dan menyebut diri mereka Orang Darat atau Orang Ruku. Oleh karena dia sudah tua, Tongara Mandi kemudian menyerahkan pemerintahan kepada Kiai Gede. Perlahan-lahan Kiai Gede meluaskan kuasanya kepada suku-suku Dayak dan tetap tergantung pada Kesultanan Banjarmasin (Marhum Panembahan). Kurang lebih 35 tahun selepas pemerintahan Kiai Gede, tibalah di Kotawaringin Pangeran Dipati Anta-Kasuma putera dari Marhum Panembahan (Sultan Banjar IV). Kedatangannya disertai Putri Gilang anaknya. Sebelumnya mereka bersemayam di Kahayan, Mendawai dan Sampit. Kemudian mereka berangkat ke Sembuluh dan Pembuang, di tempat terakhir inilah Pangeran Dipati Anta-Kasuma sempat tertarik dan ingin bersemayam pada lokasi tersebut tetapi dilarang oleh para menterinya. Ia bersumpah bahwa semenjak saat itu tempat tersebut dinamakan Pembuang artinya tempat yang terbuang atau tidak jadi digunakan. Dari sana kemudian Pangeran berangkat ke sungai Arut. Disini dia tinggal beberapa lama di kampung Pandau dan membuat perjanjian persahabatan dengan orang-orang Dayak yang menjanjikan taat setia mereka. Perjanjian ini dibuat pada sebuah batu yang dinamakan Batu Patahan, tempat dikorbankannya dua orang, di mana seorang Banjar yang menghadap ke laut sebagai arah kedatangan orang Banjar dan seorang Dayak yang menghadap ke darat sebagai arah kedatangan orang Dayak, kedua disembelih darahnya disatukan berkorban sebagai materai perjanjian tersebut. Kemudian Pangeran berangkat ke Kotawaringin di mana Kiai Gede mengiktirafkan dia sebagai raja dan dia sendiri menjabat sebagai mangkubumi.

Pada masa ini Pangeran Dipati Anta-Kasuma telah membuat perhubungan dengan seorang putera dari Ratu Bagus Sukadana/Ratu Mas Jaintan/Putri Bunku dan Dipati Sukadana/Penembahan Giri Kusuma dari Kerajaan Sukadana/Tanjungpura, Raja Matan Sukadana, yaitu Murong-Giri Mustafa ( Sultan Muhammad Syafiuddin 1623/7-1677) atau di dalam Hikayat Banjar disebut Raden Saradewa  yang telah meminang puteri Pangeran Dipati Anta-Kasuma yaitu Putri Gelang (Dayang Gilang) untuk dirinya . Baginda dianugerahkan daerah Jelai yang sebelumnya telah ditaklukan oleh Kotawaringin sebagai hadiah perkawinan. Perkawinan tersebut dilaksanakan di Martapura. Dengan adanya perkawinan tersebut maka Marhum Panembahan (Sultan Banjar IV) mengatakan bahwa Dipati Sukadana tidak perlu lagi mengirim upeti setiap tahun seperti zaman dahulu kala kepadanya karena sudah diberikan kepada cucunya Putri Gelang dan jikakalau ia beranak sampai ke anak cucunya. Selepas itu Dipati Ngganding diperintahkan diam di Kotawaringin. Putri Gelang wafat setelah 40 hari melahirkan puteranya. Raden Saradewa pulang ke Sukadana, sedangkan bayi yang dilahirkan Putri Gelang kemudian tinggal dengan Pangeran Dipati Anta-Kasuma di Martapura kemudian dinamai Raden Buyut Kasuma Matan/Pangeran Putra (ayah Sultan Muhammad Zainuddin I) oleh Marhum Panembahan, yang merupakan salah satu dari tiga cicitnya yang diberi nama buyut, karena ketika itulah Marhum Panembahan pertama kali memiliki tiga orang cicit, yang dalam bahasa Banjar disebut buyut. Raden Buyut Kasuma Matan saudara sepersusuan dengan Raden Buyut Kasuma Banjar putera Raden Kasuma Taruna (Pangeran Dipati Kasuma Mandura).

Sultan Banjar V, Inayatullah (Pangeran Dipati Tuha 1/Ratu Agung), abangnya Pangeran Dipati Anta-Kasuma menganugerahkan gelar Ratu Kota Waringin kepada Pangeran Dipati Anta-Kasuma, kemudian menyerahkan desa-desa di sebelah barat Banjar (sungai Barito) hingga ke Jelai (sungai Jelai). Ratu Kota-Waringin kemudian kembali ke Kotawaringin sambil membawa serta Raden Buyut Kasuma Matan. Ratu Kota Waringin sebenarnya tidak bersemayam di dalem (istana) tetapi di atas sebuah rakit besar (lanting) yang ditambatkan di sana. Ratu Kota-Waringin memperoleh seorang puteri lagi yang dinamai Puteri Lanting, dengan seorang wanita yang dikawininya di sini. Baginda berangkat ke sungai Jelai dan membuka sebuah kampung di pertemuan sungai Bilah dengan sungai Jelai. Daerah ini dinamakan Sukamara karena ada suka dan ada mara (maju).

Raja Kotawaringin (Pangeran Antakasuma), Raja Sukadana, Pangeran Marta Sahary (Pangeran Martasari, asisten kiri dari mangkubumi) dan Raja Mempawah menjadi anggota Dewan Mahkota di Kesultanan Banjar pada masa pemerintahan Inayatullah (Ratu Agung). Dewan Mahkota adalah dewan yang juga mengurusi perdagangan dan ekonomi di wilayah ini dalam berhubungan dengan pihak Belanda (VOC) maupun Inggris. Pada tahun 1638 terjadi pembunuhan terhadap orang-orang VOC dan orang Jepang di loji di Martapura. Atas kejadian tersebut VOC membuat surat ancaman yang ditujukan terhadap Kesultanan Banjarmasin, Kerajaan Kotawaringin dan Kerajaan Sukadana. Kedua kerajaan merupakan sekutu Banjarmasin dan ada hubungan kekeluargaan. Permusuhan berakhir dengan adanya Perjanjian 16 Mei 1661 pada masa Sultan Rakyatullah.

Kemudian selama di Kotawaringin, Pangeran Dipati Anta-Kasuma memperoleh seorang putera dengan seorang wanita yang dinikahinya di sana, putera yang dilahirkan di Kotawaringin ini dinamakan Ratu Amas. Oleh sebab sudah tua dia menyerahkan tahta kerajaan Kotawaringin kepada puteranya dan berangkat pulang ke Banjarmasin karena dia berduka atas mangkatnya kakandanya Sultan Inayatullah/Ratu Agung/Pangeran Dipati Tuha I.

Mendengar kemangkatan Inayatullah/Ratu Agung, Sultan Banjar (1638-1645), Ratu Kota Waringin pulang ke Banjarmasin untuk melantik keponakannya Pangeran Kasuma Alam sebagai Sultan Banjar dengan gelar Sultan Saidullah/Ratu Anom (1645-1660). Saat itu ia juga melantik keponakannya Raden Kasuma Lalana sebagai Dipati dengan gelar Pangeran Dipati Anom II (kelak Sultan Agung). Ratu Anom kemudian menganugerahkan Ratu Kota Waringin gelar baru Ratu Bagawan artinya raja maha pandita. Selama di Martapura, Ratu Bagawan sempat menduduki jabatan mangkubumi dalam pemerintahan Ratu Anom selama lima tahun (1650-1655), menggantikan abangnya Panembahan di Darat yang meninggal dunia. Ia kemudian mengundurkan diri dan menyerahkan jabatan mangkubumi kepada adiknya lain ibu, Pangeran Dipati Tapasena (Sultan Rakyatullah). Tidak lama kemudian ia meninggal dunia tahun 1657 dan dimakamkan di Komplek Makam Sultan Suriansyah, Banjarmasin.

Pada abad ke-18, Ratu Bagawan Muda putera dari Pangeran Panghulu telah membangun sebuah dalem/keraton dengan mengikuti gaya Jawa. Mangkubumi raja ini, Pangeran Prabu, mengepalai beberapa serangan yang berjaya ke negeri Matan dan Lawai atau Pinoh. Pangeran Prabu telah menaklukan sebagian besar wilayah itu hingga jatuh dalam kekuasaan pemerintahan Kotawaringin, tetapi kemudian negeri-negeri itu dapat lepas dari taklukannya. Oleh karena itu Kotawaringin selalu menganggap sebagian besar negeri Pinoh sebagai jajahannya dan juga menuntut daerah Jelai. Dia juga mengambil sebahagian peperangan yang dilancarkan oleh Pangeran Amir dengan memihak kepada Sunan Batu (Sultan Tahmidullah II). Dia telah membantu Sultan Banjar, Sunan Batu dalam peperangan melawan Sultan Sambas. Putera dari Ratu Bagawan Muda yaitu Ratu Anom Kasuma Yuda adalah raja Kotawaringin pertama yang membuat hubungan langsung dengan pemerintah Hindia Belanda. Dia meminta bantuan Hindia Belanda dalam peperangan melawan Matan dan untuk tujuan ini baginda telah menerima meriam, senapan dan peluru dari Batavia. Ketika Sultan Banjar menyerahkan Kotawaringin dan kawasan-kawasan yang lain kepada Hindia Belanda, maka Ratu Anom Kasumayuda juga menyerahkan tahta kerajaan Kotawaringin kepada Pangeran Imanudin yang bergelar Pangeran Ratu.

Perpindahan Pusat pemerintahan

Masa keemasan Kesultaan Kotawaringin tak berlangsung lama. Bersamaan dengan situasi di mana kesultanan mencapai titik tertinggi di bidang perekonomian, muncul kebijakan baru dari negara induk, yaitu Kesultanan Banjar untuk menyerahkan Kesultanan Kotawaringin di bawah penguasaan Belanda. Penyerahan Kesultanan Kotawaringin kepada Belanda merupakan konsekuensi yang harus dilakukan oleh Kesultanan Banjar semasa pemerintahan Sultan Tahmidillah II. Konsekuensi ini merupakan bagian dari kompensasi yang diberikan kepada Belanda karena telah membantu dalam peperangan melawan Pangeran Amir. Selain kompensasi berupa lada, emas, permata (intan), serta izin untuk mendirikan kantor di Tabanio, Hulu sungai, Pulau Kaget, dan Tatas, dalam perjanjian pada tanggal 13 Agustus 1787, Kesultanan Banjar juga menyerahkan sebagian wilayahnya yang meliputi daerah pantai Timur Kalimantan ke barat, termasuk Pasir, Pulau Laut, Tabanio, Mendawai, Sampit, Pembuang, dan Kotawaringin dengan lingkungan sekitar dan daerah taklukannya, serta sebagian dari Desa Tatas.

Peralihan penguasaan Kesultanan Kotawaringin ternyata berdampak sangat besar. Pengalihan ini terutama berimbas pada sektor perekonomian dan pemerintahan. Penguasaan (monopoli) perdagangan yang sebelumnya dipegang oleh Kesultanan Kotawaringin, kini diambil alih oleh Belanda. Contoh nyata dari pengambil-alihan perdagangan tersebut adalah berpindahnya monopoli perdagangan garam yang sebelumnya dipegang oleh Kesultanan Kotawaringin, kini beralih ke tangan Belanda. Peralihan tesebut membuat pendapatan yang diterima Kesultanan Kotawaringin menjadi berkurang.

Di sisi lain, dalam sektor pemerintahan, Kesultanan Kotawaringin yang sebelumnya “berkiblat” kepada Kesultanan Banjar kini beralih ke Pemerintah Hindia Belanda. Kesultanan Kotawaringin kini harus mengikatkan diri dengan Pemerintah Hindia Belanda melalui penandatanganan perjanjian untuk mengelola sumber daya alam di wilayah Kesultanan Kotawaringin. Hal ini dikukuhkan dengan peraturan dari Pemerintah Hindia Belanda yang menyatakan bahwa Kesultanan Kotawaringin tidak lagi melaporkan pertanggungjawaban kepada Kesultanan Banjar melainkan kepada Pemerintahan Hindia Belanda yang diwakilkan kepada seorang kontrolir Belanda yang berkedudukan di Sampit.

Perpindahan kekuasaan kemudian juga diikuti dengan perpindahan pusat pemerintahan. Pusat pemerintahan Kesultanan Banjar yang sebelumnya berlokasi di Kotawaringin Lama berpindah ke Sukabuni Indra Sakti atau dikenal dengan nama Pangkalan Bu’un (Pangkalan Bun). Kejadian ini terjadi ketika Kesultanan Kotawaringin diperintah oleh Pangeran Imanuddin pada tahun 1814. Besar kemungkinan perpindahan pusat pemerintahan tersebut juga dilandasi oleh faktor pengalihan kekuasaan.


Kemunduran

Terdapat dua faktor yang mempengaruhi kemunduran Kesultanan Kotawaringin. Pertama, penguasaan atas Kesultanan Kotawaringin yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan Kesultanan Banjar diserahkan kepada Pemerintah Hindia Belanda. Kedua, perpecahan di pihak keluarga Kesultanan Kotawaringin. Imbas dari penyerahan kekuasaan tersebut, Pemerintah Hindia Belanda kemudian melakukan monopoli perdagangan (garam) sekaligus “memancing di air keruh” atas perselisihan yang menimbulkan konflik di pihak keluarga kesultanan. Inilah masalah klasik yang melanda berbagai kerajaan di nusantara di akhir masa kekuasaan.

Perpindahan kekuasaan atas Kesultanan Kotawaringin dari Kesultanan Banjar kepada Pemerintah Hindia Belanda menjadi pemicu pertama kemunduran Kesultanan Kotawaringin. Penyebab utama adalah merosotnya sektor perdagangan yang diakibatkan oleh pengalihan penguasaan monopoli, dari Kesultanan Kotawaringin kepada Belanda. Bahkan pada tanggal 13 Agustus 1900, Kesultanan Kotawaringin menyerahkan monopoli perdagangan garam kepada Belanda. Pengalihan monopoli perdagangan membuat keuangan Belanda semakin kuat, tetapi di sisi lain Kesultanan Kotawaringin beserta rakyat sangat menggantungkan perekonomian terhadap Belanda. Kekuasaan Belanda yang sangat besar ini kemudian dipergunakan untuk terus menekan pihak kesultanan dan menjadikan keluarga kesultanan hanya sebagai simbol tanpa kekuasaan yang nyata.

Pihak keluarga Kesultanan Kotawaringin yang kemudian turut pindah ke Pangkalan Bun kini praktis tidak mempunyai kekuatan politis. Kenyataan ini menjadikan pihak Kesultanan Kotawaringin harus menerima segala bentuk peraturan yang diterapkan Pemerintah Hindia Belanda. Situasi yang demikian ternyata menimbulkan perbedaan persepsi di kalangan anggota kesultanan. Anggota kesultanan yang tidak bisa menerima perlakuan dari Belanda memilih menetap di Kotawaringin Lama. Di sisi lain, sebagian anggota kesultanan tetap memilih untuk tinggal di Pangkalan Bun.

Perselisihan kembali terjadi ketika Kesultanan Kotawaringin diperintah oleh sultan ke-12, Pangeran Paku Sukma Negara. Perselisihan bermula ketika Pangeran Paku Sukma Negara wafat dan tidak mempunyai pengganti. Belanda melalui Kontrolir Van Duve mengambil keputusan bahwa penerus tahta selanjutnya berasal dari keturunan Pangeran Imanudin (sultan ke-9). Berdasarkan keputusan tersebut, Pangeran Paku Sukma Negara Alamsyah naik tahta menggantikan Pangeran Paku Sukma Negara.

Pengaruh yang sangat besar dari pihak Belanda untuk campur tangan dalam urusan pemerintahan, baik secara internal maupun eksternal, di Kesultanan Kotawaringin terus dilakukan sampai Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Ketika proklamasi telah berkumandang dan Belanda mulai hengkang dari Kesultanan Kotawaringin, rakyat Kotawaringin menyatakan sikap yang bulat untuk bersatu dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sikap rakyat ternyata mendapat sambutan yang sama dari penguasa Kesultanan Kotawaringin.

Kemunduran

Terdapat dua faktor yang mempengaruhi kemunduran Kesultanan Kotawaringin. Pertama, penguasaan atas Kesultanan Kotawaringin yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan Kesultanan Banjar diserahkan kepada Pemerintah Hindia Belanda. Kedua, perpecahan di pihak keluarga Kesultanan Kotawaringin. Imbas dari penyerahan kekuasaan tersebut, Pemerintah Hindia Belanda kemudian melakukan monopoli perdagangan (garam) sekaligus “memancing di air keruh” atas perselisihan yang menimbulkan konflik di pihak keluarga kesultanan. Inilah masalah klasik yang melanda berbagai kerajaan di nusantara di akhir masa kekuasaan.

Perpindahan kekuasaan atas Kesultanan Kotawaringin dari Kesultanan Banjar kepada Pemerintah Hindia Belanda menjadi pemicu pertama kemunduran Kesultanan Kotawaringin. Penyebab utama adalah merosotnya sektor perdagangan yang diakibatkan oleh pengalihan penguasaan monopoli, dari Kesultanan Kotawaringin kepada Belanda. Bahkan pada tanggal 13 Agustus 1900, Kesultanan Kotawaringin menyerahkan monopoli perdagangan garam kepada Belanda. Pengalihan monopoli perdagangan membuat keuangan Belanda semakin kuat, tetapi di sisi lain Kesultanan Kotawaringin beserta rakyat sangat menggantungkan perekonomian terhadap Belanda. Kekuasaan Belanda yang sangat besar ini kemudian dipergunakan untuk terus menekan pihak kesultanan dan menjadikan keluarga kesultanan hanya sebagai simbol tanpa kekuasaan yang nyata.

Pihak keluarga Kesultanan Kotawaringin yang kemudian turut pindah ke Pangkalan Bun kini praktis tidak mempunyai kekuatan politis. Kenyataan ini menjadikan pihak Kesultanan Kotawaringin harus menerima segala bentuk peraturan yang diterapkan Pemerintah Hindia Belanda. Situasi yang demikian ternyata menimbulkan perbedaan persepsi di kalangan anggota kesultanan. Anggota kesultanan yang tidak bisa menerima perlakuan dari Belanda memilih menetap di Kotawaringin Lama. Di sisi lain, sebagian anggota kesultanan tetap memilih untuk tinggal di Pangkalan Bun.

Perselisihan kembali terjadi ketika Kesultanan Kotawaringin diperintah oleh sultan ke-12, Pangeran Paku Sukma Negara. Perselisihan bermula ketika Pangeran Paku Sukma Negara wafat dan tidak mempunyai pengganti. Belanda melalui Kontrolir Van Duve mengambil keputusan bahwa penerus tahta selanjutnya berasal dari keturunan Pangeran Imanudin (sultan ke-9). Berdasarkan keputusan tersebut, Pangeran Paku Sukma Negara Alamsyah naik tahta menggantikan Pangeran Paku Sukma Negara.

Pengaruh yang sangat besar dari pihak Belanda untuk campur tangan dalam urusan pemerintahan, baik secara internal maupun eksternal, di Kesultanan Kotawaringin terus dilakukan sampai Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Ketika proklamasi telah berkumandang dan Belanda mulai hengkang dari Kesultanan Kotawaringin, rakyat Kotawaringin menyatakan sikap yang bulat untuk bersatu dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sikap rakyat ternyata mendapat sambutan yang sama dari penguasa Kesultanan Kotawaringin.


Bergabung dengan Republik Indonesia

Sebelum Proklamasi Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945, Kobar merupakan satu wilayah Kesultanan Kotawaringin. Ibukota Kesultanan Kotawaringin semula berada di Kotawaringin Lama (hulu Sungai Lamandau). Pada 1814 ibukota kesultanan dipindahkan ke Pangkalan Bun, pada masa pemerintahan Sultan Imanudin dan didirikanlah sebuah istana di Pangkalan Bun sebagai pusat pemerintahan. Pada tanggal 14 Januari 1846 daerah Kotawaringin dijadikan daerah pendudukan Belanda dan selanjutnya dimasukan dalam daerah Dayak Besar.

Ketika kemerdekaan Indonesia berkumandang pada tanggal 17 Agustus 1945, Kesultanan Kotawaringin secara tegas menyatakan diri untuk masuk ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indoensia. Sikap ini dikemukakan secara langsung oleh sultan ke-14, yaitu Pangeran Ratu Anom Alamsyah. Sikap ini menimbulkan konsekuensi di pihak Kesultanan Kotawaringin, yaitu wilayah kesultanan dilebur ke dalam satu kesatuan Negara Republik Indonesia. Konsekuensi tersebut berimbas pada perubahan bentuk kesultanan menjadi swapraja (setingkat dengan kawedanan). Selanjutnya berkembang menjadi Kabupaten Daerah Tingkat II Kotawaringin Barat sebagai daerah otonom dengan Pangkalan Bun sebagai ibukota kabupaten yang ditetapkan dengan UU No 27/1959 dan Lembaran Negara No 72/1959.

Selanjutnya Kabupaten Kotawaringin Barat telah dimekarkan menjadi 3 Kabupaten yaitu :
  • Kabupaten Kotawaringin Barat
  • Kabupaten Lamandau
  • Kabupaten Sukamara

Menurut Lontaan dan Sanusi, pada tanggal 20 Oktober 1948 telah terbentuk semacam dewan perwakilan rakyat yang secara bulat mendukung dileburnya Kesultanan Kotawaringin ke dalam wilayah Republik Indonesia. Di pihak lain, pihak Kesultanan Kotawaringin juga mempunyai sikap yang senada, yaitu siap berdiri di belakang republik yang baru berdiri. Sikap ini didasari atas sepakterjang pihak Kesultanan Kotawaringin yang telah setia untuk terus mengobarkan api perlawanan terhadap Belanda pada masa revolusi fisik. Bantuan dari Kesultanan Kotawaringin berupa 300 pucuk senapan dan beberapa meriam membuktikan bahwa Kesultanan Kotawaringin secara tegas berada di belakang Republik Indonesia.

Kebangkitan


Kesultanan Kotawaringin dihapus sebagai suatu wilayah independen ketika Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Wilayah Kesultanan Kotawaringin dijadikan salah satu daerah administratif setingkat dengan status sebagai daerah swapraja. Secara resmi, Swapraja Kotawaringin menjadi bagian dari Republik Indonesia sejak 1 Mei 1950, meskipun sebenarnya Swapraja Kotawaringin telah dimasukan ke kabupaten Kotawaringin semenjak tanggal 27 Desember 1949 berdasarkan undang-undang No. 22 Tahun 1948. Mulai dari perubahan status dari kesultanan menjadi swaparaja tersebut, Kesultanan Kotawaringin secara administratif menjadi salah satu bagian dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pangeran Kasuma Anom Alamsyah II memegang tampuk kekuasaan sebagai penguasa daerah swapraja sampai tahun 1975. Pasca pemerintahan beliau, zuriat Kesultanan Kotawaringin bermufakat untuk mengurus seorang pengurus harian bernama Pangeran Muasyidin Syah. Jabatan ini disandang oleh Pangeran Muasyidin Syah hingga tahun 2010. Pangeran Muasyidin Syah merupakan adik dari Pangeran Ratu Alidin Sukma Alamsyah, sultan ke-13 Kesultanan Kotawaringin.

Perubahan terjadi pada bulan Mei 2010. Kala itu muncul ide untuk mengangkat kembali peranan seorang sultan sebagai penguasa tertinggi di Kesultanan Kotawaringin. Tetapi peran sultan yang ada sekarang berbeda dengan peran sultan ketika masih menjadi daerah sendiri sebelum dilebur menjadi satu kesatuan di bawah Pemerintah republik Indonesia. Peran yang dimainkan oleh sultan sekarang sebatas sebagai simbol budaya.

Ide untuk kembali mengangkat seorang simbol kemudian mendapatkan momentum ketika zuriat Kesultanan Kotawaringin bermufakat untuk mengangkat Pangeran Ratu Alidin Sukma Alamsyah sebagai sultan ke-15 Kesultanan Kotawaringin. Penobatan dilaksanakan di Istana Kuning, pada hari Minggu, 16 Mei 2010. Pangeran Ratu Alidin Sukma Alamsyah merupakan putra tertua dari Sultan XIV Kotawaringin, Pangeran Ratu Sukma Alamsyah.


Sistem Pemerintahan

Sistem pemerintahan di Kesultanan Kotawaringin pada awalnya hanya sebatas pengaturan dari sultan dan mangkubumi kepada para kepala adat setempat. Namun seiring dengan dibuatnya Undang-Undang Kanun Kuntara, sistem pemerintahan mengalami pengaturan yang lebih terstruktur dengan pembagian wilayah dan kepala daerah setempat. Undang-Undang Kanun Kuntara mengatur tentang pembagian wilayah yang dikepalai oleh seorang menteri, seperti Menteri Kumai, Menteri Pangkalan Bu’un (Pangkalan Bun), Menteri Jelai, dan lain sebagainya. Jika dilihat dari pembagian tersebut, tugas antara sultan, mangkubumi, dan menteri telah terstruktur dengan jelas secara organisatoris. Hal ini menunjukan bahwa sistem pemerintahan di Kesultanan Kotawaringin telah cukup maju karena memiliki pedoman yang jelas, yaitu Undang-Undang Kanun Kuntara.

Sistem pemerintahan juga mengatur tentang kewajiban Kesultanan Kotawaringin sebagai negara bawahan untuk setia kepada negara induk yakni Kesultanan Banjar. Hal ini telah dimulai sejak sultan pertama, Ratu Begawan Kotawaringin sampai dengan Ratu Begawan. Ketika Kesultanan Kotawaringin diperintah oleh Ratu Begawan, terjadi perpindahan pusat pemerintahan dari Kotawaringin Lama ke Pangkalan Bun. Selain itu terjadi pula pengalihan kekuasaan dari Kesultanan Banjar kepada Belanda. Pada kasus pengalihan kekuasaan, sejak dialihkan dari Kesultanan Banjar kepada Belanda, sultan di Kesultanan Kotawaringin secara administratif kini tidak lagi bertanggungjawab kepada Kesultanan Banjar melainkan kepada Belanda. Setiap sultan harus mempertanggungjawabkan (melaporkan) segala sesuatu yang berhubungan dengan pemerintahan kepada seorang kontrolir Belanda yang berkedudukan di Sampit .

Pada masa pasca kemerdekaan, status Kesultanan Kotawaringin berubah dari kerajaan yang independen menjadi salah satu bagian dari wilayah Negara kesatuan Republik Indonesia yang berbentuk swapraja atau kawedanan. Secara resmi, daerah swapraja Kotawaringin masuk ke dalam wilayah Republik Indonesia pada tanggal 1 Mei 1950, meskipun sebenarnya Swapraja Kotawaringin telah dimasukan ke Kabupaten Kotawaringin semenjak tanggal 27 Desember 1949 berdasarkan undang-undang No. 22 Tahun 1948. Status ini kemudian berkembang menjadi bentuk Kabupaten Daerah Tingkat II Kotawaringin Barat. Daerah ini ditetapkan sebagai daerah otonom dengan Pangkalan Bun sebagai ibukota kabupaten.


Ratu Kota Waringin

Pangeran Ratu yang pernah memerintah hingga masuknya penjajah Belanda dengan urutan sebagai berikut:

  • (?-1598)Tongara Mandi (Kiai Demang)
  • (1598-1633/1637)-Kiyai Gede (Demung Silam Kutaringin) atau Dipati Ngganding/Dipati Gendang )- keponakan Tongara Mandi
  • (1637-1650) Pangeran Dipati Anta-Kasuma (menantu Dipati Ngganding) - mangkubumi Kiai Gede[24]
  • (1650-1700) Pangeran Mas Adipati (anak) - mangkubumi Dipati Gading
  • (1700-1720) Panembahan Kota Waringin (anak) - mangkubumi Dipati Gading
  • (1720-1750) Pangeran Prabu/Panembahan Derut (anak) - mangkubumi Pangeran Dira
  • (1750-1770) Pangeran Adipati Muda (anak) - mangkubumi Pangeran Cakra
  • (1770-1785) Pangeran Panghulu (anak) - mangkubumi Pangeran Anom
  • (1785-1792) Pangeran Ratu Bagawan (anak) - mangkubumi Pangeran Paku Negara
  • (1792-1817) Pangeran Ratu Anom Kasuma Yudha (anak)
  • (1817-1855) Pangeran Imanudin/Pangeran Ratu Anom (anak)
  • (1855-1865) Pangeran Akhmad Hermansyah (anak)
  • (1865-1904) Pangeran Ratu Anom Alamsyah I (anak)
  • (1905-1913) Pangeran Ratu Sukma Negara (paman)
  • (1913-1939) Pangeran Ratu Sukma Alamsyah (cucu)
  • (1939-1948) Pangeran Kasuma Anom Alamsyah II (anak)
  • Pangeran Muasyidin Syah
  • (2010-sekarang) Pangeran Ratu Alidin Sukma Alamsyah (anak Pangeran Ratu Sukma Alamsyah)




Sumber 

Post a Comment

0 Comments