Responsive Ad

Kesultanan Banjar


Image result for kesultanan banjar
Lambang Kesultanan Banjar

Kesultanan Banjar atau Kesultanan Banjarmasin (berdiri pada Tahun 1520, dihapuskan sepihak oleh Belanda pada 11 Juni 1860. Namun rakyat Banjar tetap mengakui ada pemerintahan darurat/pelarian yang baru berakhir pada 24 Januari 1905. Namun sejak 24 Juli 2010, Kesultanan Banjar hidup kembali dengan dilantiknya Sultan Khairul Saleh.

Kerajaan Banjar adalah sebuah kesultanan wilayahnya saat ini termasuk ke dalam provinsi Kalimantan Selatan, Indonesia. Wilayah Banjar yang lebih luas terbentang dari Tanjung Sambar sampai Tanjung Aru. Kesultanan ini semula beribukota di Banjarmasin kemudian dipindahkan ke beberapa tempat dan terkahir diMartapura. Ketika beribukota di Martapura disebut juga Kerajaan Kayu Tangi. Wilayah terluas kerajaan ini pada masa kejayaannya disebut empire/kekaisaran Banjar membawahi beberapa negeri yang berbentuk kesultanan, kerajaan, kerajamudaan, kepengeranan, keadipatian dan daerah-daerah kecil yang dipimpin kepala-kepala suku Dayak.

Ketika ibukotanya masih di Banjarmasin, maka kesultanan ini disebut Kesultanan Banjarmasin. Kesultanan Banjar merupakan penerus dari Kerajaan Negara Daha yaitu kerajaan Hindu yang beribukota di kota Negara, sekarang merupakan ibukota kecamatan Daha Selatan, Hulu Sungai Selatan.

Sejarah

Menurut mitologi suku Maanyan (suku tertua di Kalimantan Selatan), kerajaan pertama di Kalimantan bagian selatan adalah Kerajaan Nan Sarunai yang diperkirakan wilayah kekuasaannya terbentang luas mulai dari daerah Tabalong hingga ke daerah Pasir. Keberadaan mitologi Maanyan yang menceritakan tentang masa-masa keemasan Kerajaan Nan Sarunai sebuah kerajaan purba yang dulunya mempersatukan etnis Maanyan di daerah ini dan telah melakukan hubungan dengan pulau Madagaskar. Kerajaan ini mendapat serangan dari Majapahit. sehingga sebagian rakyatnya menyingkir ke pedalaman (wilayah suku Lawangan). Salah satu peninggalan arkeologis yang berasal dari zaman ini adalah Candi Agung yang terletak di kota Amuntai. Pada tahun 1996, telah dilakukan pengujian C-14 terhadap sampel arang Candi Agung yang menghasilkan angka tahun dengan kisaran 242-226 SM (Kusmartono dan Widianto, 1998:19-20).

Menilik dari angka tahun dimaksud maka Kerajaan Nan Sarunai/Kerajaan Tabalong/Kerajaan Tanjungpuri usianya lebih tua 600 tahun dibandingkan dengan Kerajaan Kutai Martapura di Kalimantan Timur.

Menurut Hikayat Sang Bima, wangsa yang menurunkan raja-raja Banjar adalah Sang Dewa bersaudara dengan wangsa yang menurunkan raja-raja Bima (Sang Bima), raja-raja Bali (Sang Kuala), raja-raja Dompu(Darmawangsa), raja-raja Gowa (Sang Rajuna) yang merupakan lima bersaudara putera-putera dari Maharaja Pandu Dewata.

Sesuai Tutur Candi (Hikayat Banjar versi II), di Kalimantan telah berdiri suatu pemerintahan dari dinasti kerajaan (keraton) yang terus menerus berlanjut hingga daerah ini digabungkan ke dalam Hindia Belanda pada 11 Juni 1860, yaitu :
  • Keraton awal disebut Kerajaan Kuripan
  • Keraton I disebut Kerajaan Negara Dipa
  • Keraton II disebut Kerajaan Negara Daha
  • Keraton III disebut Kesultanan Banjar
  • Keraton IV disebut Kerajaan Martapura/Kayu Tangi
  • Keraton V disebut Pagustian

Maharaja Sukarama, Raja Negara Daha telah berwasiat agar penggantinya adalah cucunya Raden Samudera, anak dari putrinya Puteri Galuh Intan Sari. Ayah dari Raden Samudera adalah Raden Manteri Jaya, putra dari Raden Begawan, saudara Maharaja Sukarama. Wasiat tersebut menyebabkan Raden Samudera terancam keselamatannya karena para putra Maharaja Sukarama juga berambisi sebagai raja yaitu Pangeran Bagalung, Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Tumenggung.

Dibantu oleh Arya Taranggana, Pangeran Samudra melarikan diri dengan sampan ke hilir sungai Barito. Sepeninggal Sukarama, Pangeran Mangkubumi menjadi Raja Negara Daha, selanjutnya digantikan Pangeran Tumenggung yang juga putra Sukarama. Pangeran Samudra yang menyamar menjadi nelayan di daerah Balandean dan Kuin, ditampung oleh Patih Masih di rumahnya. Oleh Patih Masih bersama Patih Muhur, Patih Balitung diangkat menjadi raja yang berkedudukan di Bandarmasih.

Pangeran Tumenggung melakukan penyerangan ke Bandarmasih. Pangeran Samudra dibantu Kerajaan Demak dengan kekuatan 40.000 prajurit dengan armada sebanyak 1.000 perahu yang masing-masing memuat 400 prajurit mampu menahan serangan tersebut.) Akhirnya Pangeran Tumenggung bersedia menyerahkan kekuasaan Kerajaan Negara Daha kepada Pangeran Samudra. Kerajaan Negara Daha kemudian dilebur menjadi Kesultanan Banjar yang beristana di Bandarmasih. Sedangkan Pangeran Tumenggung diberi wilayah di Batang Alai.

Pangeran Samudra menjadi raja pertama Kerajaan banjar dengan gelar Sultan Suriansyah. Ia pun menjadi raja pertama yang masuk islam dibimbing oleh Khatib Dayan.

Perkembangan Kesultanan Banjar

Ketika Pangeran Samudra naik tahta dengan gelar Sultan Suriansyah, beberapa daerah mengakui kekuasaannya, seperti Sambas, Batanglawai, Sukadana, Kotawaringin, Sampit, Medawi, dan Sambangan. Sultan Suriansyah memerintah dari tahun 1526 hingga 1550. Pada masa pemerintahannya wilayah Kesultanan Banjar meliputi Tabalong, Barito, Alai, Hamandit, Balangan, Kintap, Biaju Besar, Biaju Kecil, Sebangau, Mandawai, Katingan, Sampit, Pambuang, Sukadana, Sanggau, Sambas, Batang Luwai, Karasikan, Kota Waringin, Pasir, Kutai, dan Berau. Secara keseluruhan daerah-daerah ini terletak di Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, sedangkan pusat pemerintahannya berada di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

Ibukota Kerajaan Banjar adalah Banjarmasin. Kota ini terletak di muara Sungai Barito, sehingga memungkinkan kapal-kapal besar berlabuh di sana kemudian Raden Samudra memindahkan Bandar kerajaannya dari Muarabahan (Marabahan) ke Banjarmasin. Dengan pemindahan Bandar perdagangan ke Banjarmasin itu dimungkinkan untuk mengadakan pengawasan langsung terhadap lalu lintas perdagangan yang menjadi sektor yang paling berpengaruh dalam Negara.

Setelah Sultan Suriansyah wafat, dia digantikan oleh putranya, yaitu Sultan Rahmatullah, ia berkuasa pada tahun 1550-1570. Setelah Sultan Rahmatullh wafat ia digantikan oleh putranya yang bernama Sultan Hidayatullah, yang berkuasa pada tahun 1570-1595. Setelah Sultan Hidayatullah mangkat, maka jabatan sultan dipegang oleh putranya yang bernama Sultan Mustain Billah, yang memerintah tahun 1595-1620.

Pada masa pemerintahan Sultan Mustain Billah inilah pusat Kesultanan Banjar dipindahkan ke Kayuwangi, Martapura. 

Masa Kejayaan

Kesultanan Banjar mengalami masa kejayaan pada abad ke-17, yaitu pada masa pemerintahan Sultan Mustain Billah (1595-1620), Sultan Inayatullah (1620-1637), dan Sultan Saidullah (1637 – 1642).

Pada waktu itu Kesultanan Banjar memiliki lada sebagai komoditas dagang, secara praktis barat daya, tenggara dan timur pulau Kalimantan membayar upeti pada kerajaan Banjarmasin. Sebelumnya Kesultanan Banjar membayar upeti kepada Kesultanan Demak, tetapi pada masa Kesultanan Pajang penerus Kesultanan Demak, Kesultanan Banjar tidak lagi mengirim upeti ke Jawa.


Image result for kesultanan banjar
Wilayah Kesultanan Banjar
Supremasi Jawa terhadap Banjarmasin, dilakukan lagi oleh Tuban pada tahun 1615 untuk menaklukkan Banjarmasin dengan bantuan Madura (Arosbaya) dan Surabaya, tetapi gagal karena mendapat perlawanan yang sengit.

Sultan Agung dari Mataram (1613–1646), mengembangkan kekuasaannya atas pulau Jawa dengan mengalahkan pelabuhan-pelabuhan pantai utara Jawa seperti Jepara dan Gresik (1610), Tuban (1619), Madura (1924) dan Surabaya (1625). Pada tahun 1622 Mataram kembali merencanakan program penjajahannya terhadap kerajaan sebelah selatan, barat daya dan tenggara pulau Kalimantan, dan Sultan Agung menegaskan kekuasaannya atas Kerajaan Sukadana tahun 1622.

Seiring dengan hal itu, karena merasa telah memiliki kekuatan yang cukup dari aspek militer dan ekonomi untuk menghadapi serbuan dari kerajaan lain, Sultan Banjar mengklaim Sambas, Lawai, Sukadana, Kotawaringin, Pembuang, Sampit, Mendawai, Kahayan Hilir dan Kahayan Hulu, Kutai, Pasir, Pulau Laut, Satui, Asam Asam, Kintap dan Swarangan sebagai vazal dari kerajaan Banjarmasin, hal ini terjadi pada tahun 1636.

Sejak tahun 1631 Banjarmasin bersiap-siap menghadapi serangan Kesultanan Mataram, tetapi karena kekurangan logistik, maka rencana serangan dari Kesultanan Mataram sudah tidak ada lagi. Sesudah tahun 1637 terjadi migrasi dari pulau Jawa secara besar-besaran sebagai akibat dari korban agresi politik Sultan Agung. Kedatangan imigran dari Jawa mempunyai pengaruh yang sangat besar sehingga pelabuhan-pelabuhan di pulau Kalimantan menjadi pusat difusi kebudayaan Jawa.

Disamping menghadapi rencana serbuan-serbuan dari Mataram, kesultanan Banjarmasin juga harus menghadapi kekuatan Belanda. Pada tahun 1637 Banjarmasin dan Mataram mengadakan perdamaian setelah hubungan yang tegang selama bertahun-tahun. Perang Makassar (1660-1669) menyebabkan banyak pedagang pindah dari Somba Opu, pelabuhan kesultanan Gowa ke Banjarmasin. Mata uang yang beredar di Kesultanan Banjar disebut doit.

Sebelum dibagi menjadi beberapa daerah (kerajaan kecil), wilayah asal Kesultanan Banjar meliputi provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, sebelah barat berbatasan dengan Kerajaan Tanjungpura pada lokasi Tanjung Sambar (Ketapang) dan sebelah timur berbatasan dengan Kesultanan Pasir pada lokasi Tanjung Aru. Pada daerah-daerah pecahannya, rajanya bergelar Pangeran, hanya di Kesultanan Banjar yang berhak memakai gelar Sultan. Kesultanan-kesultanan lainnya mengirim upeti kepada Kesultanan Banjar, termasuk Kesultanan Pasir yang ditaklukan tahun 1636 dengan bantuan Belanda.

Kesultanan Banjarmasin merupakan kerajaan terkuat di pulau Kalimantan. Sultan Banjar menggunakan perkakas kerajaan yang bergaya Hindu.

Datangnya Bangsa Barat

Ketika Belanda datang dan menimbulkan kekacauan, Kesultanan Bajar mengalami kerugian. Akibatnya, ibukota kerajaan dipindahkan ke Amuntai, kemudian ke Tambangan, dan Batang Banju. Sebenarnya VOC sudah datang ke Banjar sejak 1606 untuk meminta monopoli lada namun usaha mereka belum terwujud. Baru setelah adanya kontrak yang ditandatangani Belanda dan Syahbandar Kesultanan Banjar pada 1635 perdagangan lada dimonopoli oleh Belanda. Setelah perjanjian antara VOC dengan Sultan Martapura ditandatangani, perlawanan terhadap Belanda menurun.

Ketika Inggris datang daerah Banjar sempat dimonopoli Inggris selama 75 tahun, setelah itu kembali dikuasai Belanda. Sejak 1826 kekuasaan Sultan Banjar dibatasi oleh pihak Belanda.  Pada tahun 1852, terjadi persaingan antar dua putra mahkota yang memperebutkan jabatan sultan di Kesultanan Banjar. Mereka adalah Pangeran Hidayatullah, putra Sultan Muda Abdurrahman dari permaisuri Ratu Sitti dan Pangeran Tamjidillah, putra Sultan Muda Abdurrahman dari selir keturunan Cina, yang bernama Nyai Aminah. Secara tradisi, kedudukan Pangeran Hidayatullah lebih kuat untuk menggantikan ayahnya sebagai sultan, tetapi karena adanya campur tangan Belanda, maka yang berhasil menjadi sultan adalah Pangeran Tamjidillah. Pangeran Tamjidillah dilantik menjadi Sultan Banjar tanggal 8 Agustus 1852 dan sekaligus merangkap sebagai mangkubumi,  ia bergelar Sultan Sulaiman Muda akan tetapi rakyatnya tidak senang dengan kepemimpinannya.

Melihat campur tangan pemerintahan Belanda dalam istana yang sedemikian rupa, membuat Pangeran Antasari, seorang keluarga istana Banjar, bergerak memimpin gerakan rakyat Banjar menentang kekuasaan Tamjidillah yang disokong oleh Belanda. Gerakan Pangeran Antasari didukung oleh Pangeran Hidayatullah, Kyai Adipati Anom, Tumenggung Surapati, Pembakal Sulil, Kyai Langlang, dan Penghulu Haji Buyasin. Pada tanggal 28 April 1859, Pangeran Antasari mulai berperang melawan Belanda dan Tamjidillah.Pada tanggal 25 Juni 1859, Tamjidillah dipecat Belanda karena tidak mampu meredam gerakan yang dilakukan oleh Pangeran Antasari.

Pada tahun 1862, Pangeran Hidayatullah menyerah dan dibuang oleh Belanda ke Cianjur kemudian Pangeran Antasari diangkat sebagai pemimpin rakyat Banjar, dia diberi gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin. dia melanjutkan perjuangan rakyat Banjar sampai tanggal 11 November 1862 kemudian dilanjutkan oleh anaknya yang bernama Muhammad Seman. dia melanjutkan perjuangan ayahnya sampai tahun 1905 dan dia lebih memilih mati syahid di tangan  musuh daripada merelakan rakyat Banjar dijajah oleh Belanda.

Sistem Pemerintahan Kesultanan Banjar

Kesultanan Banjar pada abad ke-17 M, mempunyai hubungan dengan kerajaan Mataram di Jawa. Hubungan yang terjalin ini memberi pengaruh terhadap sistem pemerintahan Banjar. Cence, seorang sarjana mengatakan corak organisasi pemerintahan Banjar banyak mendapatkan pengaruh dari Jawa, kemungkinan berasal dari Demak atau Mataram. Meskipun, sistem pemerintahan dibangun menurut model Jawa, raja tidak mempunyai kekuasaan seabsolut raja-raja Mataram.

Dalam sistem pemerintahan Kesultanan Banjar, keturunan dan kekayaan sangat menentukan dalam kedudukan raja. Pada dasarnya pemerintah kesultanan Banjar bersifat aristokratis, yang dikuasai oleh kaum bangsawan. Sultan mempunyai posisi sebagai penengah golongan bangsawan dan para pedagang besar.

Sultan dalam struktur kesultanan Banjar adalah penguasa tertinggi, yang mempunyai wewenang dalam masalah politik dan keagamaan. Dalam struktur pemerintahan ini, kekuasaan tertinggi kedua dipegang oleh putra mahkota yang dikenal dengan sebutan Sultan Muta. Sultan Muta tidak mempunyai jabatan tertentu, tetapi pembantu Sultan. Disamping Sultan, terdapat lembaga dewan mahkota yang terdiri dari kaum bangsawan dan Mangkubumi.

Seperti yang sudah djelaskan, posisi sultan memang mempunyai wewenang tertinggi. Namun, dalam melaksanakan pemerintahan sultan dibatasi oleh dewan Mahkota, keluarga dekat raja, dan Mangkubumi. Dewan Mahkota berfungsi sebagai penasehat sultan dalam mengambil keputusan penting dalam kebijakan kesultanan. Dengan besarnya pengaruh Dewan Mahkota ini, sering terjadi upaya untuk melemahkan kedudukan sultan.

Mangkubumi mempunyai peran besar dalam roda pemerintahan Banjar. Mangkubumi mempunyai wewenang dalam keputusan terakhir terhadap seseorang yang dijatuhi hukuman mati. Jabatan Mangkubumi tidak diwariskan dengan sistem turun temurun, tetapi jabatan Mangkubumi sendiri biasanya dipegang oleh keluarga Sultan yang terdekat.

Mangkubumi dalam pemerintahan Banjar dibantu oleh Menteri Panganan, Menteri Pangiwa, dan Menteri Bumi. Tiga menteri utama ini dibantu oleh 40 orang menteri sikap. Setiap menteri sikap mempunyai bawahan sebanyak 100 orang. Menteri Panganan dan Pangiwa bertugas mengurusi keuangan dan administrasi kesultanan. Dalam mengatur perdagangan terdapat Syahbandar yang bertugas mengatur perdagangan dengan daerah lain. Perlu dicatat peran Syahbandar sangat sentral dalam perdagangan Banjar, karena pelabuhan di Kalimantan Selatan merupakan persinggahan berbagai pedagang dari penjuru dunia.

Sistem hukum di kesultanan Banjar pada awalnya tidak menganut hukum Islam. Baru ketika memasuki abad ke-18, saat pemimpin agama dimasukkan ke dalam struktur pemerintahan, hukum Islam mulai berlaku. Sebelumnya, hukum yang berlaku di kesultanan Banjar berpedoman dalam buku undang-undang hukum yang bernama Kutara. Kutara ini disusun oleh Arya Trenggana ketika menjabat sebagai Mangkubumi Kerajaan.

Untuk mengatur daerah luar Istana, terdapat sistem elite birokrasi yang saling membawahi satu sama lain. Kita bisa mengurutkannya seperti ini Adipati  (provinsi) membawahi Lalawangan (Kabupaten), Lalawangan membawahi Lurah (kecamatan, Lurah membawahi Pembakal (desa). Dalam menjaga keamanan keraton dibentuk suatu badan khusus yang bernama pasukan Sarawisa. Kelompok ini terdiri dari 50 orang anggota, yang dikepalai oleh Surabraja. Selain pasukan Sarawisa, terdapat suatu pasukan khusus yang bertugas mengawal raja ketika menerima pembesar kerajaan lain. Kelompok ini bernama Mamagasari yang beranggotakan 40 orang.

Terdapat suatu kelompok pembersih Bailarung yang beranggotakan 50 orang juga, kelompok ini dikepalai oleh pejabat Raksayuda.  Selain petugas pembersih, terdapat pula kelompok yang bertugas untuk merawat persenjataan, kelompok ini bernama Saragani yang dikepalai oleh Saradipa. Sultan juga sangat memperhatikan keamanan rakyatnya, terbukti dengan dibentuknya kelompok Pariwara yang bertugas mengawasi dan menjaga keamanan pasar, mereka beranggotakan 40 orang. Jika kita melihat sistem pemerintahan Kesultanan Banjar, kita dapat melihat suatu komplesitas suatu pemerintahan masa lalu yang diterapkan di kesultanan Nusantara.

Sistem Ekonomi dan Sosial Kesultanan Banjar

Jika meninjau dari sudut geografis, Kalimantan Selatan mempunyai posisi yang strategis dalam lalu lintas perdagangan Nusantara. Letak yang strategis inilah yang mendukung kesultanan Banjar mengalami perkembangan perekonomian secara pesat mulai abad ke-16 sampai abad ke-17.  Perdagangan di Banjarmasin pada permulaan abad ke-17, didominasi oleh para pedangang Tionghoa. Kuatnya penarikan lada dari mereka untuk perdagangan ke Tiongkok mengakibatkan penanaman lada meningkat pesat.

Lada merupakan komoditi ekspor terbesar kesultanan Banjar. Kemajuan ekspor lada ternyata membawa perubahan kebijakan politik istana. Para penguasa berusaha menguasai tanah yang lebih luas dalam bentuh tanah apanage, yaitu tanah yang hasilnya dipungut keluarga sultan. Tanah-tanah tersebut dijadikan sebagai ladang-ladang penanaman lada. Dengan adanya kebijakan yang seperti ini membuat para bangsawan dan pedagang memiliki kekayaan yang melimpah.

Soal kepemilikan tanah terdapat peraturan khusus yang mengaturnya. Seluruh tanah yang berada dalam wilayah kesultanan adalah milik sultan, namun tanah tersebut dapat digarap oleh penduduk biasa asalkan membayar pajak kepada sultan. Tanah yang dibuka dan dikerjakan oleh perseorangan disebut tanah wawaran dan jika dikerjakan secara berkelompok disebut handil.Terdapat perbedaan batasan wawaran bangsawan dan rakyat biasa, golongan bangsawan maksimal mencapai 200 junjungan sedangkan rakyat biasa hanya 40 junjungan.

Dalam masyarakat Banjar terdapat susunan dan peranan sosial yang berbentuk piramid. Lapisan paling atas dalam strata tersebut adalah golongan penguasa yang terdiri dari kaum bangsawan yang memiliki kedudukan di dalam birokrasi dan menguasai industri perdagangan. Selain kaum bangsawan, para pemimpin agama Islam juga termasuk dalam golongan paling atas tersebut. Penempatan pemimpin agama sebagai golongan teratas dikarenakan agama Islam merupakan agama resmi Kesultanan dan pemimpin agama Islam termasuk dalam struktur pemerintahan.

Strata kedua diisi orang-orang Belanda, hal ini karena hubungan baik antara Sultan dengan Belanda dalam perdaganagan. Hubungan baik ini memberikan kebebasan pada mereka untuk mengeruk kekayaan yang ada. Selanjutnya, strata ketiga atau yang paling bawah diisi oleh rakyat biasa. Rakyat biasa ini biasa disebut orang jaba, yang terdiri dari petani, nelayan, pedangan dan sebagainya.

Peran Ulama dalam Kesultanan Banjar

Perkembangan Islam di Kesultanan Banjar tidak dapat kita lepaskan dari peran Ulama. Ulama sebagai elite religius memberikan peran besar bagi pemerintahan kesultanan Banjar. Sultan dan ulama pada saat itu merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Tanpa adanya kesatuan tersebut mustahil Islam dapat berkembang dengan cepat di kesultanan Banjar. Hubungan baik antara sultan dan ulama dapat dilihat dari kitab Sabilal Muhtadin. Kitab Sabilal Muhtadin merupakan kitab yang ditulis atas permintaan sultan, untuk dijadikan pedoman hukum meski masih terbatas dalam bidang-bidang tertentu, seperti hukum waris dan pernikahan.

kesultanan Banjar
Muhammad Nafis al-Banjari
Kesultanan Banjar
Muhammad Arsyad al-Banjari














Jika membiacarakan ulama yang paling berperan besar dalam perkembangan Islam di Kesultanan Banjar, maka tidak dapat melepaskannya dari Muhammad Arsyad Al-Banjari dan Muhammad Nafis al-Banjari. Muhammad Arsyad Abdullah Al-Banjari seperti yang telah dikupas dalam pembahasan Peran Ulama Nusantara Abad ke-19 merupakan ulama yang pernah menuntut ilmu di Haramain, sepulangnya dari Haramain dia menjadi tangan kanan Sultan Tahmidullah II, dan diminta tinggal di Istana. Dia merupakan ulama pertama yang mendirikan lembaga-lembaga Islam serta memperkenalkan gagasan-gagasan keagamaan baru di Kalimantan Selatan. Muhammad Arsyad mendirikan lembaga pendidikan Islam. Selain itu, dia menjadikan doktrin-doktrin hukum Islam menjadi acuan terpenting dalam pengadilan kriminal.

Muhammad Arsyad dengan dukungan sultan mendirikan pengadilan Islam terpisah untuk mengurusi masalah-masalah hukum sipil murni. dia juga memprakarsai diperkenalkannya jabatan mufti yang bertanggung jawab mengeluarkan fatwa-fatwa mengenai masalah-masalah keagamaan dan sosial. Pemikiran Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari mengenai hukum dan ajaran Islam, perlahan-lahan dapat memasuki ruang istana. Dalam masyarakat Banjar ajaran fiqh dari madzhab Syafi’I sangat berpengaruh, sehingga menjadi hukum adat rakyat. Muhammad Arsyad juga merupakan ulama yang sangat mencintai budaya, dia merupakan pelopor musik Hadrah yang kita kenal sampai sekarang.

Ulama lain yang perannya tak kalah besar dalam perkembangan Islam di Banjar adalah Muhammad Nafis  Idris Husayn Al-Banjari. Muhammad Nafis merupakan ahli kalam dan tasawuf, dengan karyanya Durr Al-Nafis. Sama halnya dengan Muhammad Arsyad, dia menuntut ilmu agama di Haramain. Dalam mempelajari ilmu tasawuf, Syekh Muhammad Nafis berhasil mencapai gelar Mursyid, gelar yang menunjukkan bahwa dia diperkenankan mengajar ilmu tasawuf dan tarekatnya kepada orang lain. Berbeda dengan Muhammad Arsyad, yang menjadi perintis pusat pendidikan Islam, Muhammad Nafis mencurahkan dirinya dalam usaha melanjutkan penyebaran Islam di wilayah pedalaman Kalimantan Selatan. Sehingga dia sangat berperan dalam perkembangan Islam di daerah pedalaman Kalimantan Selatan yang sebelumnya jarang terjamah oleh dakwah ulama.


No.
Potret
Masa
Sultan
Keterangan
1
1520-1546
Sultan Suryanullah
* Raja Banjarmasih. Nama lahirnya Raden Samudra, Raja Banjar pertama sebagai perampas kekuasaan yang memindahkan pusat pemerintahan di Kampung Banjarmasih yang menggantikan pamannya raja Pangeran Tumenggung (Raden Panjang), menurutnya dia ahli waris yang sah sesuai wasiat kakeknya Maharaja Sukarama (Raden Paksa) dari Kerajaan Negara Daha, padahal ia garis keturunan perempuan (menurut Hikayat Banjar versi resensi I). Setelah turun tahta Pangeran Tumenggung pindah ke daerah Alai beserta seribu penduduk. Sultan Suryanullah dibantu mangkubumi Aria Taranggana. Baginda memeluk Islam pada 24 September 1526. Makamnya di Komplek Makam Sultan Suriansyah dengan gelar anumerta Sunan Batu Habang. Dalam agama lama, dia dianggap hidup membegawan di alam gaib sebagai sangiang digelari Perbata Batu Habang.

2
1546-1570
Sultan Rahmatullah bin Sultan Suriansyah
* Raja Banjarmasih. Sultan Rahmatullah merupakan putera sulung Sultan Suryanullah, sedangkan Pangeran Anom/Pangeran di Hangsana merupakan putera kedua Sultan Suryanullah. Pangeran Anom/Pangeran di Hangsana menjabat sebagai Dipati. Sultan Rahmatullah dibantu mangkubumi Aria Taranggana. Makam Sultan Rahmatullah terdapat di Komplek Makam Sultan Suriansyah dengan gelar anumerta Panembahan Batu Putih.

3
1570-1595
Sultan Sultan Hidayatullah I bin Rahmatullah
* Raja Banjarmasih. Pemerintahannya dibantu mangkubumi Kiai Anggadipa. Makamnya di Komplek Makam Sultan Suriansyah dengan gelar anumerta Panembahan Batu Irang. Puteranya Raden Bagus dilantik sebagai raja muda dengan gelar Ratu Bagus, belakangan Ratu Bagus ditawan di Tuban oleh Sultan Mataram dan baru dibebaskan pada masa Sultan Mustain Billah. Trah keturunan Sultan Hidayatullah I menjadi Datu-datu Taliwang dan Sultan-sultan Sumbawa. Sultan Muhammad Jalaluddin Syah II/Gusti Mesir Abdurrahman/Dewa Pangeran (Sultan Sumbawa (1763 - 1766) merupakan seorang keturunan Raja Banjar yang menjadi menantu Sultan Sumbawa. Kemudian dia dilantik sebagai Sultan Sumbawa berikutnya oleh Datu Taliwang (raja daerah Taliwang yang juga keturunan Raja Banjar Sultan Hidayatullah I).

4
1595-1641
Sultan Mustain Billah bin Sultan Hidayatullah I
* Raja Banjarmasih/Raja Martapura. Nama lahirnya Raden Senapati, diduga ia perampas kekuasaan, sebab ia bukanlah anak dari permaisuri meskipun ia anak tertua. Pemerintahannya dibantu mangkubumi Kiai Jayanagara, dilanjutkan sepupunya Kiai Tumenggung Raksanagara. Gelar lain : Raden Kushil/Gusti Kacil/Pangeran Senapati/Panembahan Marhum/Raja Maruhum dan gelar yang dimasyhurkan Marhum Panembahan. Dia memindahkan ibukota ke sebelah hulu setelah mendapat serangan dari VOC Belanda dan memberi nama ibukota baru Martapura. Oleh Suku Dayak yang menghayati Kaharingan baginda dianggap hidup sebagai sangiang di Lewu Tambak Raja dikenal sebagai Raja Helu Maruhum Usang. Pada bulan Oktober 1641 baginda mengirim utusan yang membawa hadiah persembahan (bukan upeti) kepada Sultan Mataram sebagai tanda persahabatan. Sekitar tahun 1635 hubungan Banjar dan Mataram mengalami ketegangan, namun mulai membaik sejak tahun 1637. Keturunannya menjadi Sultan-sultan Banjar dan Pangeran Ratu Kotawaringin.

5
1641-1646
Sultan Inayatullah bin Sultan Mustain Billah
* Raja Martapura. Sultan Inayatullah (Pangeran Dipati Tuha [ke-1]) merupakan putera sulung Sultan Mustain Billah, sedangkan Pangeran Dipati Anom [ke-1] merupakan putera kedua Sultan Mustain Billah. Setelah dilantik sebagai mangkubumi/Kepala Pemerintahan maka Pangeran Dipati Anom [ke-1] memperoleh gelar Pangeran di Darat. Sultan Inayatullah juga bergelar Ratu Agung. Ia dimakamkan di Kampung KeratonMartapuraPangeran Dipati Anta-Kasuma putera ketiga Sultan Mustain Billah kemudian dilantik menjadi raja daerah di wilayah perbatasan sebelah barat yang disebut Kerajaan Kotawaringin.

6
1646-1660
Sultan Saidullah bin Sultan Inayatullah
* Raja Martapura. Nama lahirnya Raden Kasuma Alam. Sultan Saidullah memiliki saudara sebapak yaitu Raden Kasuma Lelana. Kepala Pemerintahan/mangkubumi tetapa dipegang Pangeran di Darat yang kini bergelar Panembahan di Darat. Setelah wafatnya Panembahan di Darat jabatan mangkubumi dilanjutkan pamannya Pangeran Dipati Anta-Kasuma, terakhir dilanjutkan paman tirinya Pangeran Dipati Mangkubumi (Raden Halit). Terdapat masa kekosongan Sultan selama setahun sebelum dia ditabalkan, dan menjalankan "kekuasaan" saat itu adalah mangkubumi Pangeran di Darat. Gelar lain : Wahidullah/Ratu Anum/Ratu Anumdullah/Sultan Ratu. Sultan Ratu memiliki dua putera yaitu Pangeran Suria Angsa (Raden Bagus/Sultan Amrullah) dan Pangeran Suria Negara (Raden Basus/Pangeran Dipati Tuha). Keturunannya menjadi Raja-raja Banjar dan Tanah Bumbu.

7
1660-1663
Sultan Ri'ayatullah bin Sultan Mustain Billah
* Raja Martapura. Nama lahirnya Raden Halit. Ia sebagai temporary king/badal menjadi pelaksana tugas bagi Raden Bagus, Putra Mahkota yang belum dewasa. Sebagai Penjabat Sultan dengan gelar resmi dalam khutbah Sultan Rakyatullah (Rakyat Allah). Pemerintahannya dibantu mangkubumi keponakan tirinya Pangeran Mas Dipati bin Pangeran Dipati Antasari. Gelar lain : Pangeran Dipati Tapasena/Pangeran Mangkubumi/Panembahan Sepuh/Tahalidullah/Dipati Halit. Pada tahun 1663 ia dipaksa menyerahkan tahta kepada cucu tirinya Pangeran Dipati Anom II/Sultan Agung yang berpura-pura akan menyerahkan tahta kepada Putra Mahkota Raden Bagus tetapi ternyata untuk dirinya sendiri yang hendak menjadi Sultan.
8
1663-1679
Sultan Amrullah Bagus Kasuma bin Sultan Saidullah
* Nama lahirnya Raden Bagus. Masa pemerintahannya sering ditulis tahun 1660-1700. Pada tahun 1660-1663 ia diwakilkan oleh Sultan Rakyatullah dalam menjalankan pemerintahan karena ia belum dewasa. Pada tahun 1663 paman tirinya Pangeran Dipati Anom II/Sultan Agung merampas tahta dari Sultan Rakyatullah, yang semestinya dirinyalah sebagai ahli waris yang sah sebagai Sultan Banjar berikutnya. Sementara itu ia telah dilantik oleh Pangeran Tapesana/Sultan Rakyatullah dengan gelar Sultan Amrullah Bagus Kasuma. Tahun 1663-1679 ia sebagai raja pelarian yang memerintah dari pedalaman (Alay)
9
1663-1679
Sultan Agung/Pangeran Suria Nata (ke-2) bin Sultan Inayatullah
* Raja Banjarmasih. Nama lahirnya Raden Kasuma Lalana. Mengkudeta/mengambil hak kemenakannya Raden Bagus sebagai Sultan Banjar. Ia dengan bantuan suku Biaju, memindahkan pusat pemerintahan ke Sungai Pangeran (Banjarmasin). Pemerintahannya dibantu mangkubumi Pangeran Aria Wiraraja, putera Pangeran Ratu. Sebagai raja muda ditunjuk adik kandungnya, Pangeran Purbanagara. Ia berbagi kekuasaan dengan saudara kakeknya Pangeran Ratu (Sultan Rakyatullah) yang kembali memegang pemerintahan Martapura sampai mangkatnya pada 1666. Gelar lain : Pangeran Dipati Anom II.
10
1679-1700
Sultan Amarullah Bagus Kasuma/Tahlil=lillah/Suria Angsa/Saidillah bin Sultan Saidullah
* Raja Kayu Tangi. Ia sempat lari ke daerah Alay (1663-1679) kemudian menyusun kekuatan dan berhasil membinasakan pamannya tirinya Sultan Agung beserta anaknya Pangeran Dipati, kemudian naik tahta kedua kalinya. Saudara tirinya Raden Basus/Suria Negara/Pangeran Dipati Tuha diangkat sebagai Raja daerah Negara, yang kemudian membangun kerajaan Tanah Bumbu dengan wilayah dari Tanjung Aru sampai Tanjung Silat yang diperuntukan bagi anaknya yaitu Pangeran Mangu, anak lainnya Pangeran Citra menjadi Sultan Kelua.

11
1700-1717
Sultan Tahmidullah I/Panembahan Kuning bin Sultan Amrullah/Tahlil-lullah
* Raja Kayu Tangi. Tahmidullah I memiliki dua putera dewasa, yang tertua adalah Sultan Ilhamidullah/Sultan Kuning/Sultan Badarul Alam dan yang kedua Sultan Sepuh/Tamjidullah I. Sedangkan penguasa daerah Negara dijabat oleh Pangeran Mas Dipati Trah keturunan Sultan Tahmisillah I menjadi Sultan-sultan Sumbawa. Sultan Muhammad Jalaluddin Syah II/Gusti Mesir Abdurrahman/Dewa Pangeran (Sultan Sumbawa (1763 - 1766) merupakan seorang putera dari Pangeran Aria bin Sultan Tahmidillah (ke-1). Sebagai menantu Sultan Sumbawa. kemudian dia dilantik sebagai Sultan Sumbawa berikutnya oleh Datu Taliwang (raja daerah Taliwang yang juga keturunan Raja Banjar Sultan Hidayatullah I).

12
1717-1730
Panembahan Kasuma Dilaga
* Raja Kayu Tangi. Ia adalah mangkubumi dan adik sultan sebelumnya. Iparnya yang bernama Raden Jaya Negara dilantik sebagai penguasa daerah Negara

13
1730-1734
Sultan il-Hamidullah/Sultan Kuning bin Sultan Tahmidullah I
* Raja Kayu Tangi. Gelar lain : Sultan Kuning atau Pangeran Bata Kuning.[85] Panglima perang dari La Madukelleng menyerang Banjarmasin pada tahun 1733

14
1734-1759
Sultan Tamjidullah I bin Sultan Tahmidullah I
* Raja Kayu Tangi. Gelar lain: Sultan Sepuh/Panembahan Badarulalam.[85] Raja Kayu Tangi. Ia semula mangkubuminya Sultan Kuning, kemudian setelah mangkatnya Sultan Kuning, ia bertindak sebagai wali Putra Mahkota Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah gelar Ratu Anom yang belum dewasa. Tamjidullah I yang bergelar Sultan Sepuh ini berusaha Sultan Banjar tetap dipegang pada dinasti garis keturunannya. Adiknya Pangeran Nullah (Penembahan Hirang) dilantik sebagai mangkubumi. Tamjidullah I mangkat 1767.

15
1759-1761
Sultan Muhammadillah/Muhammad Aliuddin Aminullah bin Sultan Il-Hamidullah/Sultan Kuning
* Raja Kayu Tangi. Ia menggantikan mertuanya Sultan Sepuh/Tamjidullah I sebagai Sultan Banjar. Setelah itu mantan Sultan Sepuh tidak lagi memakai gelar Sultan tetapi hanya sebagai Panembahan. Sebagai mangkubumi adalah Pangeran Nata dengan gelar Ratu Dipati, putera Sultan Sepuh. Gelar lain : Sultan Muhammadillah/Sultan Aminullah/Muhammad Iya'uddin Aminullah/Muhammad Iya'uddin Amir ulatie ketika mangkat anak-anaknya masih belum dewasa, tahta kerajaan kembali dibawah kekuasaan Tamjidillah I tetapi dijalankan oleh anaknya Pangeran Nata Dilaga sebagai wali Putra Mahkota.

16
1761-1801
Sunan Nata Alam (Pangeran Mangkubumi) bin Sultan Tamjidullah I
* Raja Kayu Tangi. Tahun 1771 ia memindah ibukota ke Martapura yang dinamakan Bumi Selamat. Semula sebagai wali Putra Mahkota dengan gelar Panembahan Kaharuddin Halilullah. Pamannya yang bernama Pangeran Mas menjadi mangkubumi dengan gelar Ratu Anom Kasuma Yuda (mangkubumi Sultan Tahmidullah II). Ratu Anom Kasuma Yuda kemudian wafat dan digantikan Ratu Anom Ismail atau Ratu Anom Mangkudilaga. Gelar lain : Sultan Tahmidullah II/Sunan Nata Alam (1772)/Pangeran Nata Dilaga/Pangeran Wira Nata/Pangeran Nata Negara/Akamuddin Saidullah(1762)/Amirul Mu'minin Abdullah(1762)/Sunan Sulaiman Saidullah I(1787)/Panembahan Batu (1797)/Panembahan Anom. Mendapat bantuan VOC untuk menangkap Pangeran Amir bin Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah yang menuntut tahta dengan bantuan Arung Trawe/Petta To Rawe pimpinan suku Bugis-Paser yang mengalami kegagalan, kemudian Pangeran Amir menjalin hubungan dengan suku Bakumpai dan akhirnya ditangkap Kompeni Belanda 14 Mei 1787, kemudian diasingkan ke Srilangka. Sebagai balas jasa kepada VOC maka dibuat perjanjian 13 Agustus 1787 yang menyebabkan Kesultanan Banjar menjadi vazal VOC atau daerah protektorat, bahkan pengangkatan Sultan Muda dan mangkubumi harus dengan persetujuan VOC. Sultan Tahmidullah II mempunyai saudara perempuan bernama Ratu Laiya yang menikah dengan Sultan Muhammad dari Sumbawa.

17
1801-1825
Sultan Sulaiman al-Mutamidullah/Sultan Sulaiman Saidullah II bin Tahmidullah II
* Menurut tradisi suksesi di kesultanan Banjar yang berlaku saat itu, maka putera sulung dari permaisuri akan dilantik sebagai Sultan Muda dan putera kedua akan dilantik sebagai mangkubumi (Pangeran Mangkubumi) untuk menggantikan mangkubumi sebelumnya yang meninggal dunia. Baginda dilantik sebagai Sultan Muda atau Pangeran Ratu Sultan Sulaiman sejak tahun 1767 ketika berusia 6 tahun. Adiknya yaitu Pangeran Mangku Dilaga/Pangeran Ismail kemudian dilantik sebagai mangkubumi dengan gelar Ratu Anom Mangku Dilaga/Ratoe Anom Ismail. Belakangan Ratoe Anom Ismail dihukum bunuh oleh Sultan Sulaiman Saidullah karena diduga akan merencanakan kudeta, sehingga jabatan mangkubumi berikutnya jatuh kepada putera kedua Sultan Sulaiman Saidullah yang bernama Pangeran Husin. Sebagai mangkubumi Pangeran Husin bergelar Pangeran Mangku Bumi Nata, jadi ia merupakan adik Sultan Adam - anak sulung Sultan Sulaiman Saidullah.[88] Pada masa itu wilayah Hindia Belanda jatuh ke tangan Inggris, namun Inggris melepaskan kekuasaannya atas Banjarmasin. Kemudian Pemerintahan Hindia Belanda datang kembali ke Banjarmasin untuk menegaskan kekuasaannya. Sultan Sulaiman digantikan anaknya Sultan Adam. Keturunannya menjadi Sultan Banjar dan raja-raja KusanBatulicin dan Pulau Laut. Di antaraputera-puterinya adalah Ratu Mashud (ibunda Pangeran Antasari) dan Pangeran Singosari yang menurunkan Sultan Haji Khairul Saleh Al-Mu'tashim Billah.
18
1825-1857
Sultan Adam Al-Watsiq Billah bin Sultan Sulaiman al-Mutamidullah
* Baginda mendapat gelar Sultan Muda sejak tahun 1782, selanjutnya ia menggantikan ayahandanya sebagai Sultan Banjar. Ia dibantu adiknya Pangeran Husin bergelar Pangeran Mangku Bumi Nata sebagai mangkubumi. Setelah wafatnya Pangeran Mangku Bumi Nata maka putera kedua Sultan Adam yaitu Pangeran Noh dilantik sebagai mangkubumi (Pangeran Mangkubumi) dengan gelar Ratoe Anom Mangkoeboemi Kentjana oleh Belanda pada 1842, sedangkan putera sulung yaitu Pangeran Ratu dilantik sebagai Sultan Muda dengan gelar Sultan Muda Abdul Rahman. Untuk memperoleh calon Pangeran Mahkota berikutnya maka Sultan Muda dinikahkan dengan sepupunya putri dari mangkubumi. Setelah wafatnya Ratoe Anom Mangkoeboemi Kentjana maka pemerintah kolonial Belanda melantik putera dari selir Sultan Muda Abdul Rahman yang bernama Pangeran Tamjidillah (ke-2) untuk mengisi jabatan mangkubumi (pada saat Sultan Muda Abdul Rahman masih hidup). Ketika Sultan Muda Abdul Rahman mangkat (sebelum sempat menjabat sebagai Sultan Banjar) maka Belanda melantik Tamjidullah II sebagai Sultan Muda sejak 8 Agustus 1852 sambil merangkap jabatan mangkubumi yang sudah dijabat sebelumnya. Hal ini melanggar adat keraton biasanya mangkubumi dan Sultan Muda dijabat oleh orang yang berbeda, karena sepatutnya Sultan Muda dijabat oleh putera sulung dari permaisuri. Sultan Adam menolak pengangkatan Tamjidullah II sebagai Sultan Muda, karena ia menginginkan Pangeran Hidayatullah II untuk jabatan tersebut. Namun setelah wafatnya Sultan Adam, malahan Pangeran Tamjidullah II tetap dilantik pemerintah kolonial Belanda sebagai Sultan Banjar untuk menggantikan sultan Adam, dan sehari kemudian Tamjidullah II menandatangani surat pengasingan pamannya sendiri Pangeran Prabu Anom untuk diasingkan ke Bandung pada 23 Februari 1858. Tahun 1853 Sultan Adam sebenarnya sudah mengutus surat ke Batavia agar pengangkatan Tamjidullah II sebagai Sultan Muda (calon Sultan) dibatalkan. Sebagai tandingan Sultan Muda Tamjidullah, tahun 1855 Sultan Adam melantik puteranya Pangeran Prabu Anom (adik almarhum Sultan Muda Abdul Rahman) sebagai Raja Muda. Kemudian Sultan Adam sempat membuat surat wasiat yang menunjuk cucunya Hidayatullah II sebagai Sultan Banjar penggantinya dan Pangeran Prabu Anom sebagai Mangkubumi, surat wasiat inilah yang menjadi dasar perlawanan segenap bangsawan dan rakyat Banjar terhadap kolonial Hindia Belanda

19
1857-1859
Sultan Tamjidullah II al-Watsiq Billah bin Pangeran Ratu Sultan Muda Abdur Rahman bin Sultan Adam
*Sejak 1851 ia dilantik Belanda sebagai mangkubumi (sewaktu Sultan Muda Abdurrahaman masih hidup) untuk menggantikan Ratoe Anom Mangkoeboemi Kentjana (adik Sultan Muda Abdurrahaman) yang meninggal dunia, tidak hanya itu kemudian pada tahun 1852 ia dilantik Belanda menjadi Sultan Muda (merangkap mangkubumi) menggantikan ayahnya Sultan Muda Abdurrahman yang mangkat pada 5 Maret 1852, walaupun pelantikannya sebagai Sultan Muda ini tidak disetujui kakeknya Sultan Adam. Pada 3 November 1857 Tamjidullah II diangkat Belanda menjadi Sultan Banjar, padahal ia anak selir meskipun ia sebagai anak tertua dan kemudian Belanda mengangkat Hidayatullah II sebagai mangkubumi. Jalur suksesi menurut tradisi kesultanan Banjar, untuk promosi jabatan putera-putera dari seorang Sultan yang bertahta, maka putera permaisuri yang sulung dilantik sebagai Sultan Muda dan seorang putera yang lainnya akan dilantik sebagai mangkubumi (jabatan bergengsi kedua setelah Sultan). Pelantikan Tamjidullah II ini sengaja dibuat salah oleh Belanda. Tamjidullah II memiliki tanah lungguh di Kota Banjarmasin karena itu sebagian rakyat dan ulama Banjarmasin mendukungnya. Banjarmasin menurut tradisi berada di bawah otoritas putera tertua Sultan. Pengangkatan Tamjidullah II ditentang segenap bangsawan karena menurut wasiat semestinya Hidayatullah II sebagai Sultan karena ia anak permaisuri. Pada 25 Juni 1859, Hindia Belanda memakzulkan Tamjidullah II sebagai Sultan Banjar kemudian mengirimnya ke Bogor. Sultan Seman, mertua Tamjidullah II ditangkap dan dihukum gantung dengan empat orang pengikutnya dengan tuduhan melakukan pemberontakan. Sebagai pengganti jabatan Sultan Banjar yang kosong, Belanda melantik komisi pemerintahan kerajaan yang terdiri atas Pangeran Surya Mataram dan Pangeran Muhammad Tambak Anyar. Sementara Sultan Muda menghindari penangkapan Belanda melarikan diri ke pulau Sumatera.

20
1859-1862
Sultan Hidayatullah Halilillah bin Pangeran Ratu Sultan Muda Abdur Rahman bin Sultan Adam
* Nama lahirnya adalah Gusti Andarun, kemudian sebagai mangkubumi ia memakai gelar Pangeran Hidayatullah. Ia dikenal sebagai Sultan tanpa mahkota. Sesuai wasiat Sultan Adam ia sebagai Sultan Banjar penggantinya. Pada 9 Oktober 1856 ia dilantik Belanda sebagai mangkubumi tetapi diam-diam ia menjadi oposisi Tamjidullah II, misalnya dengan mengangkat Kiai Adipati Anom Dinding Raja (Jalil) sebagai tandingan adipati Banua Lima Kiai Adipati Danu Raja yang berada di pihak Belanda/Sultan Tamjidullah II. Pangeran Hidayatullah II memiliki tanah lungguh meliputi Alai, Paramasan, Amandit, Karang Intan, Margasari dan Basung. Perjuangan Sultan Hidayatullah II dibantu oleh tangan kanannya Demang Lehman yang memegang pusaka kerajaan Keris Singkir dan Tombak 
Kalibelah. Ketika berada di Banua Lima pada bulan September 1859, ia dilantik di Amuntai oleh rakyat Banua Lima sebagai Sultan Banjar, dan Pangeran Wira Kasuma sebagai mangkubumi. Pelantikan ini untuk memenuhi angan-angan rakyat Banua Lima walaupun bersifat marjinal karena pada dasarnya seluruh wilayah berada dalam kekuasaan Belanda. Penobatanya ini pada umumnya disetujui pula oleh rakyat yang berada di Banua Lima maupun di luar Banua Lima. Pada tanggal 11 Juni 1860Residen I.N. Nieuwen Huyzen mengumumkan penghapusan Kesultanan Banjar yang digantikan komisi kerajaan dibawah Pangeran Suria Mataram (anak Sultan Adam) dan Pangeran Mohammad Tambak Anyar (anak Ratoe Anom Mangkoeboemi Kentjana). Sultan Hidayatullah II pada 2 Maret 1862 dibawa dari Martapura dan diasingkan ke Cianjur

21
1862
Pangeran Antasari bin Pangeran Mashud bin Sultan Amir bin Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah
* Raja Bakumpai dan Tanah Dusun. Pada 14 Maret 1862, yaitu setelah 11 hari Pangeran Hidayatullah II diasingkan ke Cianjur, rakyat Tanah Dusun, Siang dan Murung memproklamasikan pengangkatan Pangeran Antasari sebagai pimpinan tertinggi dalam kerajaan Banjar dengan gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin. Khalifah ini dibantu Tumenggung Surapati sebagai panglima perang. Pusat perjuangan di Menawing, pedalaman sungai BaritoMurung Raya, Kalteng. Dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional, wafat 11 Oktober 1862 di kampung SampirangBayan Begak, karena penyakit cacar. Dimakamkan kembali 11 November 1958 di Komplek Makam Pangeran Antasari, Banjarmasin.

22
1862-1905
Sultan Muhammad Seman bin Pangeran Antasari Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin
* Raja Pagustian/Kastapura. Sebagai kepala Pemerintahan Pagustian meneruskan perjuangan ayahnya, Pangeran Antasari melawan kolonial Belanda dengan dibantu kakaknya Panembahan Muda/Gusti Muhammad Said sebagai mangkubumi dan Panglima Batur sebagai panglima perang. Ia melantik menantunya Pangeran Perbatasari bin Panembahan Muhammad Said sebagai Mangkubumi menggantikan almarhum ayahandanya. Pangeran Perbatasari tertangkap di daerah Pahu, Kutai Barat dan dibuang ke Kampung Jawa Tondano. Sultan Muhammad Seman sempat mengirim Panglima Bukhari ke Kandangan untuk mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Muhammad Seman gugur pada 24 Januari 1905 ditembak Belanda yang mengakhiri Perang Banjar dan banyak para pahlawan pejuang yang tertangkap, Pangeran Aminullah (menantu Pangeran Prabu Anom) dibuang ke Surabaya, Ratu Zaleha diasingkan ke Bogor, keturunan Tumenggung Surapati yang tertangkap diasingkan ke Bengkulu, dan sebagai penerus Sultan Muhammad Seman adalah Gusti Berakit. Negeri Banjar menjadi sepenuhnya di bawah pemerintahan Residen Belanda dilanjutkan Gubernur HagaPimpinan Pemerintahan CivilPangeran Musa Ardi Kesuma (Ridzie Zaman Jepang), Pangeran Muhammad Noor (Gubernur Kalimantan I), sekarang menjadi Provinsi Kalimantan Selatan.

23
2010
Sultan Haji Khairul Saleh Al-Mu'tashim Billah bin Gusti Jumri bin Gusti Umar bin Pangeran Haji Abubakar bin Pangeran Singosari bin Sultan Sulaiman al-Mu'tamidullah
*Sultan Haji Khairul Saleh Al-Mu'tashim Billah zuriat dari Pangeran Singosari bin Sultan Sulaiman. Pada masa kemelut Perang Banjar, hanya Pangeran Singosari (saudara Sultan Adam) dan Pangeran Surya Mataram (anak Sultan Adam) yang masih dipercaya oleh rakyat Banjar sebagai tempat mengadukan segala permasalahan pada masa itu. Pangeran Singosari merupakan "perwakilan" Kesultanan Banjar di Banua Lima. Setelah lama mengalami kevakuman, para zuriat Kesultanan Banjar bertekad "Maangkat Batang Tarandam" untuk menghidupkan kembali Kesultanan Banjar. Maka melalui musyawarah Tinggi Adat, para zuriat yang tergabung dalam Lembaga Adat dan Kekerabatan Kesultanan Banjar (LAKKB), pada 24 Juli 2010 resmi menganugerahkan gelar Pangeran dan menobatkan Gusti Khairul Saleh (Bupati Kabupaten Banjar 2005-2015) sebagai Raja Muda Banjar dan seterusnya diangkat menjadi Sultan Banjar.



























Sumber 

Post a Comment

0 Comments