Responsive Ad

Kerajaan Demak

Hasil gambar untuk kesultanan demak
Kesultanan Demak atau Kerajaan Demak adalah kerajaan Islam pertama dan terbesar di pantai utara Jawa ("Pasisir"). Menurut tradisi Jawa, Demak sebelumnya merupakan kadipaten dari kerajaan Majapahit, kemudian muncul sebagai kekuatan baru mewarisi legitimasi dari kebesaran Majapahit.

Kerajaan ini tercatat menjadi pelopor penyebaran agama Islam di pulau Jawa dan Indonesia pada umumnya, Walaupun tidak berumur panjang dan segera mengalami kemunduran karena terjadi perebutan kekuasaan di antara kerabat kerajaan. Pada tahun 1560, kekuasaan Demak beralih ke Kerajaan Pajang yang didirikan oleh Jaka Tingkir/Hadiwijaya. Salah satu peninggalan bersejarah Demak ialah Mesjid Agung Demak, yang menurut tradisi didirikan oleh Wali Songo.

Lokasi keraton Demak, yang pada masa itu berada di tepi laut, berada di kampung Bintara (dibaca "Bintoro" dalam bahasa Jawa), saat ini telah menjadi bagian kota Demak di Jawa Tengah. Sebutan kerajaan pada periode ketika beribukota di sana dikenal sebagai Demak Bintara. Pada masa raja ke-4 (Sunan Prawoto), keraton dipindahkan ke Prawata (dibaca "Prawoto") dan untuk periode ini kerajaan disebut Demak Prawata. Sepeninggal Sunan Prawoto, Arya Penangsang memerintah kesultanan yang sudah lemah ini dari Jipang-Panolan (sekarang dekat Cepu). Kotaraja Demak dipindahkan ke Jipang dan untuk priode ini dikenal dengan sebutan Demak Jipang.

Hadiwijaya dari Pajang mewarisi wilayah Demak yang tersisa setelah ia, bersama-sama dengan Ki Gede Pamanahan dan Ki Penjawi, menaklukkan Arya Penangsang. Demak kemudian menjadi vazal dari Pajang.

Wilayah kekuasaan Demak meliputi Jepara, Tuban, Sedayu  Palembang, Jambi dan beberapa daerah di Kalimantan. Di samping itu,  Kerajaan Demak juga memiliki pelabuhan-pelabuhan penting seperti Jepara, Tuban, Sedayu, Jaratan dan Gresik yang berkembang menjadi  pelabuhan transito (penghubung).

Sejarah 

Menjelang akhir abad ke-15, seiring dengan kemuduran Majapahit, secara praktis beberapa wilayah kekuasaannya mulai memisahkan diri. Bahkan wilayah-wilayah yang tersebar atas kadipaten-kadipaten saling serang, saling mengklaim sebagai pewaris tahta Majapahit.

Sementara Demak yang berada di wilayah utara pantai Jawa muncul sebagai kawasan yang mandiri. Dalam tradisi Jawa digambarkan bahwa Demak merupakan penganti langsung dari Majapahit, sementara Raja Demak (Raden Patah) dianggap sebagai putra Majapahit terakhir. Kerajaan Demak didirikan oleh kemungkinan besar seorang Tionghoa Muslim bernama Cek Ko-po. Kemungkinan besar puteranya adalah orang yang oleh Tomé Pires dalam Suma Oriental-nya dijuluki "Pate Rodim", mungkin dimaksudkan "Badruddin" atau "Kamaruddin" dan meninggal sekitar tahun 1504. Putera atau adik Rodim, yang bernama Trenggana bertahta dari tahun 1505 sampai 1518, kemudian dari tahun 1521 sampai 1546. Di antara kedua masa ini yang bertahta adalah iparnya, Raja Yunus (Pati Unus) dari Jepara. Sementara pada masa Trenggana sekitar tahun 1527 ekspansi militer Kerajaan Demak berhasil menundukan Majapahit.

Pemerintahan 

Dalam masa pemerintahan Raden Patah, Demak  berhasil dalam berbagai bidang, diantaranya adalah perluasan dan  pertahanan kerajaan, pengembangan Islam dan pengamalannya, serta  penerapan musyawarah dan kerja sama antara ulama dan umara (penguasa). Keberhasilan Raden Patah dalam perluasan dan  pertahanan kerajaan dapat dilihat ketika ia menaklukkan Girindra  Wardhana yang merebut tahkta Majapahit (1478), hingga dapat menggambil  alih kekuasaan majapahit. Selain itu, Raden Patah juga mengadakan  perlawan terhadap Portugis, yang telah menduduki Malaka dan ingin  mengganggu Demak. Ia mengutus pasukan di bawah pimpinan putranya, Pati  Unus atau Adipati Yunus atau Pangeran Sabrang Lor (1511), meski akhirnya  gagal. Perjuangan Raden Patah kemudian dilanjutkan oleh Pati Unus yang  menggantikan ayahnya pada tahun 1518. Dalam bidang dakwah Islam dan  pengembangannya, Raden Patah mencoba menerapkan hukum Islam dalam  berbagai aspek kehidupan. Selain itu, ia juga membangun istana dan  mendirikan masjid (1479) yang sampai sekarang terkenal dengan masjid  Agung Demak. Pendirian masjid itu dibantu sepenuhnya oleh walisanga.

Pada  tahun 1518 Raden Patah wafat kemudian digantikan putranya yaitu  Pati  Unus. Pati Unus terkenal sebagai panglima perang yang gagah berani  dan  pernah memimpin perlawanan terhadap Portugis di Malaka. Karena   keberaniannya itulah ia mendapatkan julukan Pangeran Sabrang Lor. Armada  perang Islam siap berangkat dari  pelabuhan Demak dengan mendapat  pemberkatan dari Para Wali yang  dipimpin oleh Sunan Gunung Jati. Dipimpin  langsung oleh Pati Unus bergelar  Senapati Sarjawala yang telah menjadi  Sultan Demak II. Dari sini  sejarah keluarga beliau akan berubah, sejarah  kesultanan Demak akan  berubah dan sejarah tanah Jawa akan berubah. Kapal  yang ditumpangi Pati  Unus terkena peluru meriam ketika akan menurunkan  perahu untuk merapat  ke pantai. Ia gugur sebagai Syahid karena kewajiban  membela sesama  Muslim yang tertindas penjajah (Portugis) yang bernafsu  memonopoli  perdagangan rempah-rempah. Pimpinan Armada Gabungan  Kesultanan Banten, Demak dan Cirebon  segera diambil alih oleh  Fadhlullah Khan yang oleh Portugis disebut  Faletehan, dan belakangan  disebut Fatahillah setelah mengusir Portugis  dari Sunda Kelapa 1527. Pengambil alihan ini adalah atas  inisiatif Sunan Gunung  Jati yang sekaligus menjadi mertua karena putri  beliau yang menjadi  janda Sabrang Lor dinikahkan dengan Fadhlullah Khan. 

Sepeninggal Pati Unus, kerajaan Demak kemudian diperintah oleh Sultan Trenggono. Beliau memerintah Demak dari tahun 1521-1546  M. Sultan Trenggono  adalah putra Raden Patah, adik dari Pati Unus. Pada tahun  1546 Sultan Trenggono menyerang  Panarukan, Situbondo yang saat itu dikuasai Blambangan. Sunan Gunung  Jati membantu dengan mengirimkan  gabungan prajurit Cirebon, Banten, dan  Jayakarta sebanyak 7.000 orang  yang dipimpin Fatahillah. Pasukan Demak sudah mengepung  Panarukan selama tiga bulan, tapi belum  juga dapat merebut kota itu.  Suatu ketika Sultan Trenggono  bermusyawarah bersama para adipati untuk  melancarkan serangan selanjutnya. Putra bupati Surabaya yang berusia 10  tahun menjadi  pelayannya. Anak kecil itu tertarik pada jalannya rapat  sehingga tidak  mendengar perintah Trenggono. Trenggono marah dan memukulnya. Anak itu  secara spontan membalas menusuk dada Trenggono  memakai pisau. Sultan Demak itu pun tewas seketika dan segera dibawa  pulang meninggalkan  Panarukan.   Sultan Trenggana berjasa atas penyebaran Islam di Jawa  Timur dan Jawa Tengah.  Di bawah Sultan Trenggana, Demak mulai menguasai  daerah-daerah Jawa  lainnya seperti merebut Sunda Kelapa dari Pajajaran  serta menghalau  tentara Portugis yang akan mendarat di sana (1527),  Tuban (1527), Madiun  (1529), Surabaya dan Pasuruan (1527), Malang  (1545), dan Blambangan,  kerajaan Hindu terakhir di ujung timur pulau  Jawa (1527, 1546). Panglima  perang Demak  waktu itu adalah Fatahillah,  pemuda asal Pasai  (Sumatera), yang juga menjadi menantu Sultan  Trenggana. Sultan Trenggana  meninggal pada tahun 1546 dalam sebuah  pertempuran menaklukkan  Pasuruan, dan kemudian digantikan oleh Sunan  Prawoto.

Sepeninggal Sultan Trenggono, kerajaan Demak dipimpin oleh Sunan Prawata (Raden Mukmin) yang memerintah tahun 1546-1549. Ia lebih cenderung sebagai seorang ahli agama daripada ahli politik. Pada masa kekuasaannya, daerah bawahan Demak seperti Banten, Cirebon, Surabaya dan Gresik, berkembang bebas tanpa mampu dihalanginya. Ia berambisi untuk melanjutkan usaha ayahnya menaklukkan Pulau Jawa. Namun, keterampilan berpolitiknya tidak begitu baik, dan ia lebih suka   hidup sebagai ulama daripada sebagai raja. Raden Mukmin memindahkan   pusat pemerintahan dari kota Bintoro menuju bukit Prawoto. Oleh karena itu, Raden Mukmin pun terkenal dengan sebutan Sunan  Prawoto.  Cita-cita  Sunan Prawoto pada kenyataannya tidak pernah terlaksana. Ia  lebih sibuk sebagai ahli agama dari pada mempertahankan kekuasaannya. 

Berakhirnya Kerajaan Demak 

Suksesi Raja Demak 3 tidak berlangsung mulus, terjadi Persaingan panas antara P. Surowiyoto (Pangeran Sekar) dan Trenggana yang berlanjut dengan di bunuhnya P. Surowiyoto oleh Sunan Prawoto (anak Trenggono), peristiwa ini terjadi di tepi sungai saat Surowiyoto pulang dari Masjid sehabis sholat Jum'at. Sejak peristiwa itu Surowiyoto (Sekar) dikenal dengan sebutan Sekar Sedo Lepen yang artinya Sekar gugur di Sungai. Pada tahun 1546 Trenggono wafat dan tampuk kekuasaan dipegang oleh Sunan Prawoto, anak Trenggono, sebagai Raja Demak ke 4, akan tetapi pada tahun 1549 Sunan Prawoto dan isterinya dibunuh oleh pengikut P. Arya Penangsang, putera Pangeran Surowiyoto (Sekar). P. Arya Penangsang kemudian menjadi penguasa tahta Demak sebagai Raja Demak ke 5. Pengikut Arya Penangsang juga membunuh Pangeran Hadiri, Adipati Jepara, hal ini menyebabkan adipati-adipati di bawah Demak memusuhi P. Arya Penangsang, salah satunya adalah Adipati Pajang Joko Tingkir (Hadiwijoyo).

Pada tahun 1554 terjadilah Pemberontakan dilakukan oleh Adipati Pajang Joko Tingkir (Hadiwijoyo) untuk merebut kekuasaan dari Arya Penangsang. Dalam Peristiwa ini Arya Penangsang dibunuh oleh Sutawijaya, anak angkat Joko Tingkir. Dengan terbunuhnya Arya Penangsang sebagai Raja Demak ke 5, maka berakhirlah era Kerajaan Demak. Joko Tingkir (Hadiwijoyo) memindahkan Pusat Pemerintahan ke Pajang dan mendirikan Kerajaan Pajang.




Sumber 

Post a Comment

0 Comments